Amnesti Jalan Terakhir Baiq Nuril
Oleh: Hapip Malik, SH
(LBH PEKA Malang)
Mahkamah Agung kembali menggagalkan perjuangan Baiq Nuril dalam mencari keadilan. Melalui putusannya MA menolak permohonan peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril sehingga atas dasar putusan PK tersebut Baiq Nuril tetap dinyatakan bersalah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 27 ayat (1) UU No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
Ditolaknya permohonan PK ini oleh MA maka tidak ada upaya hukum lagi yang dapat digunakan Baiq Nuril untuk mendapatkan keadilan karena dalam sistem peradilan Indonesia PK merupakan upaya hukum terakhir. Kasus ini bermula ketika Baiq Nuril menjadi honorer di sebuah sekolah menengah atas di Mataram NTB.
Berdasarkan fakta persidangan yang terungkap Baiq Nuril dengan sengaja merekam percakapannya dengan kepala sekolah di tempat ia bekerja tanpa sepengetahuan Kepsek tersebut. Perceakapan tersebut melalui telepon di mana bermuatan pelanggaran terhadap kesusilaan. Rekaman percakapan tersebut kemudian tersebar bahkan sampai kepada Kepsek tersebut, oleh karena merasa dirugikan atas tersebarnya rekaman itu kepsek yang bersangkutan melaporkan Baiq Nuril.
Setelah rangkain proses peradilan samapai pada putusan Pengadilan Negeri Mataram yang amarnya menyatakan Baiq Nuril bebas dan tidak bersalah atau tidak memenuhi rumusan pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) yaitu pasal 27 ayat (1) UU ITE. Bunyi pasal 27 ayat (1) UU ITE “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Ketentuan tersebut merupakan tindak pidana formil yaitu tindak pidana yang dianggap terjadi apabila telah melakukan perbuatan yang dilarang, tanpa melihat akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Pasal 27 ayat (1) UU ITE melarang beberapa jenis perbuatan yaitu mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik.
Berdasarkan penjelasan pasal 27 ayat (1) UU ITE tersebut mendistribusikan adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Mentransmisikan adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik.
Sedangkan, membuat dapat diakses adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
Berdasarkan fakta persidangan yang terungkap di PN Mataram bahwa Baiq Nuril tidak pernah melakukan tindakan dengan sistem elektronik sehingga tersebarnya rekaman yang bermuatan kesusilaan tersebut. Namun tersebarnya rekaman itu bermula dari saksi Haji Imam Mudawin meminta rekaman tersebut kepada Baiq Nuril sebagai bahan laporan kepada DPRD Kota Mataram sehingga rekaman tersebut diberikan langsung oleh Baiq Nuril.
Perbuatan memindah rekaman dari HP Baiq Nuril ke laptop dengan menggunakan kabel data adalah Haji Imam Mudawin dan ini terbukti di persidangan tingkat pertama. Sedangkan Baiq Nuril hanya memberikan HP miliknya dengan memberitahukan kepada imam mudawin bahwa rekaman tersebut tersimpan di galeri. Oleh karena demikian PN Mataram memutus Baiq Nuril bebas dan tidak bersalah.
Namun JPU tidak dapat menerima putusan yang membebaskan Baiq Nuril sehingga menggunakan upaya hukum selanjutnya yaitu kasasi. Putusan kasasi inilah membatalkan kebebasan Baiq Nuril dari jeratan hukum pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Pertimbangan MA bahwa perbuatan Baiq Nuril memenuhi rumusan pasal yang didakwakan. Apabila dianalisa setiap unsur ketentuan pasal 27 ayat (1) UU ITE, perbuatan Baiq Nuril ketika menyerahkan HP kepada Haji Imam Mudawin tidak termasuk unsur pasal terbut.
Pertama Baiq Nuril diminta oleh Haji Imam Mudawin supaya menyerahkan rekaman itu diberikan sebagai bahan laporan kepada DPRD kota Mataram. Sedangkan perbuatan yang dilarang pasal 27 ayat (1) UU ITE adalah perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan. Secara umum kedua perbuatan tersebut adalah perbuatan mengirim dan menyebarluaskan baik kepada seseorang atau kelompok.
Berdasarkan penjelasan ini perbuatan menyerahkan HP kepada Haji Imam Mudawin atas dasar permintaan Haji Imam Mudawin tidak termasuk perbuatan mendistribusikan maupun mentransmisikan sebab kedua perbuatan ini tanpa didasari permitaan atau lainnya.
Kedua, Baiq Nuril menyerahkan HP miliknya setelah diminta dengan cara memberikan langsung kepada Haji Imam Mudawin kemudian dihubungkan dengan laptop menggunakan kabel data oleh Haji Imam Mudawin sendiri. Jadi sepatutnya perbuatan mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik adalah perbuatan Haji Imam Mudawin sendiri karena Baiq Nuril menyerahkan HP tersebut dengan cara konvensional sehingga tidak termasuk unsur sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Setelah ditolaknya permohonan PK oleh MA maka tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan Baiq Nuril untuk mendapatkan keadilan karena PK merupakan upaya hukum terakhir. Namun Baiq Nuril terus berusaha sampai keadilan didapatkan.
Di tengah perjuangannya saat ini Baiq Nuril akan mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden, ini adalah jalan terakhir bagi Baiq Nuril.
Amnesti adalah kewenangan presiden sebagai kepala negara. Ketentuan amnesti terdapat dalam pasal 14 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.” Di Indonesia amnesti biasanya diberikan kepada kelompok atau beberapa orang yang telah melakukan kejahatan terhadap kepala negara atau makar. Sejak orde lama sampai orde baru amnesti hanya diberikan terhadap para tahanan politik secara bersama-sama. Oleh sebab itu sangat berbeda dengan keadaan Baiq Nuril. Namun apabila amnesti dapat diberikan kepada Baiq Nuril maka akan menciptakan hukum progresif yaitu hukum untuk masyarakat bukan sebaliknya.
Amnesti terhadap Baiq Nuril merupakan terobosan hukum sekaligus sebagai cerminan terhadap lembaga kehakiman supaya lebih hati-hati dalam mengadili dan memutus perkara pidana.
