Oleh: Uswatun Hasanah, M.Pd

Tembakau merupakan salah satu sumber penghasilan terbesar petani, khususnya petani di Kecamatan Jerowaru Lombok Timur. Dengan hasil penjualan tembakau, para petani ini dapat mencukupi kebutuhan primer sekunder, bahkan kebutuhan tersiernya. Selain itu, banyak anak-anak petani yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi dari hasil panen tembakau bahkan hingga jenjang S2.

Namun sepertinya tahun ini harga tembakau tak lagi bersahabat seperti harga tiga tahun terkahir. Rendahnya harga tembakau tahun ini membuat para petani galau, resah, dan gelisah. Bagaimana tidak harga penjualan tembakau kering untuk daun pertama atau yang dikenal dengan istilah daun tanak yang dibeli oleh pengepul pada tahun lalu mencapai Rp2 juta rupiah perkuintal, kini hanya dihargai 700 ribu rupiah perkuintal. Harga jual tersebut tentu tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaannya. Apalagi jika petani tersebut tidak memiliki oven sendiri, ia akan membayar harga pengovenan yang lebih besar.

Rendahnya harga tembakau ini mungkin disebabkan kerena banyaknya lahan yang ditanami tembakau dan kurangnya pembelian tembakau oleh gudang. Tak heran apabila tahun ini para petani berlomba-lomba menanam tembakau dikarenakan tingginya harga tembakau tahun 2018 lalu.

Sebagai satu-satunya sumber penghasilan petani, hasil tembakau ini juga merupakan satu-satunya harapan para petani untuk pembayaran SPP atau biaya pendidikan anak-anaknya yang sedang menempuh sekolah atau Pendidikan Tinggi. Tetapi melihat anjloknya harga tembakau, para petani harus memutar otak memikirkan bagaimana membiayai pendidikan anak-anaknya. Selain memikirkan biaya pendidikan anak-anakanya, para petani ini juga harus memikirkan bagaimana melunasi hutang-hutang pembiayaan tembakau mereka, mengingat modal pembiayaan tembakau ini bisa dibilang cukup besar.

Rohana, salah satu petani di Desa Sukadamai, Kecamatan Jerowaru, mengeluhkan anaknya kemungkinan tak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi apabila harga tembakau anjlok seperti ini. Ia menyebutkan bahwa anaknya harus membayar biaya kuliah yang cukup tinggi untuk masuk di salah satu kampus swasta di Kota Mataram. Belum lagi untuk biaya sehari-hari anak-anaknya yang masih SD dan SMP.

Rendahnya harga tembakau bukan menjadi satu-satunya masalah bagi petani saat ini, namun tembakau tahun ini juga pertumbuhannya tak setinggi tahun kemarin dengan kualitas lebar daun yang lebih kecil dari tahun kemarin. Pada tahun 2018 lalu, petani bisa melakukan delapan sampai sembilan kali pengovenan. Namun tahun ini petani hanya bisa melakukan pengovenan maksimal 6 kali. Harga yang sangat rendah dengan jangka waktu pengovenan yang pendek menambah keresahan masyarakat.

Petani tembakau berharap ada kebijakan pemerintah untuk membantu para petani menghadapi masalah ini. Masalah ini tentu tak hanya menimpa satu orang, namun ratusan hingga ribuan petani mengalami masalah yang sama. Anjloknya harga tembakau ini juga sangat berdampak pada pendidikan anak-anak mereka. Keterbatasan penghasilan membuat petani hanya mengandalkan hasil tembakau untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. (red)