Protes Lahan Sirkuit MotoGP Belum Dibayar, Dua Warga Lombok Dipidana
KORANNTB.com – Dua warga Dusun Ujung Lauk, Desa Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, dijatuhi pidana oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Praya Lombok Tengah, Rabu, 6 November 2019.
Keduanya adalah Kepala Dusun Ujung Lauk, Abdul Mutalib dan satu warga bernama Usman. Mereka dituduh melakukan penggeregahan atau menguasai lahan tanpa izin dari pemilik yang sah sesuai pasal 6 ayat (1) undang-undang nomor 51 prp tahun 1960 jonto undang-undang nomor 1 tahun 1961 tentang penetapan semua undang-undang darurat.
Lahan yang menjadi jalan desa dahulunya tersebut diklaim milik Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), yang akan digunakan untuk lokasi sirkuit MotoGP di Mandalika.
Pengacara kedua warga, Apriadi Abdi Negara, mengatakan hakim menjatuhkan vonis satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Kedua warga tidak perlu menjalani pidana, namun jika selama masa percobaan tiga bulan masih menguasai lahan maka akan dijatuhi pidana penjara.
“Terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan dengan dijatuhkan pidana penjara satu bulan, tidak perlu dijalanan dengan masa percobaan tiga bulan,” katanya, Kamis, 7 November 2019.
Atas putusan tersebut, Abdi mengajukan banding karena saat itu terdakwa Abdul Mutalib yang menjadi kepala dusun dalam posisi mengamankan warga, bukan melakukan pemagaran di lahan yang diklaim milik ITDC tersebut.
“Putusan itu yang pertama kita tidak tidak terima sehingga mengajukan banding,” ujarnya.
Abdi mengatakan, berdasarkan fakta persidangan dengan lima saksi termasuk tiga petugas keamanan ITDC, tidak menjelaskan secara detail peran Abdul Mutalib dalam perkara dugaan penggeregahan lahan.
“Tiga saksi yaitu security tidak menjelaskan secara detail terkait ikut sertaan terdakwa Abdul Mutalib dalam melakukan pemagaran dan tidak mengetahui terdakwa Usman melakukan pemegaran. Saya simpulkan keterangannya kabur,” katanya.
Abdi menjelaskan, berdasarkan keterangan saksi yang merupakan warga setempat, terdakwa Usman melakukan pemagaran pada lahan miliknya sendiri yang telah dikuasainya puluhan tahun. Namun, hakim tidak memasuki fakta tersebut menjadi alasan dalam memutuskan perkara.
“Dan yang ke empat pihak ITDC tidak dapat menunjukan dasar terbit sertifikat HPL (hak pengelolaan lahan) 46 dan 70, apakah sudah dibayar atau tidak,” ujarnya.
Abdi menyayangkan penerapan undang-undang tersebut untuk membungkam masyarakat menyuarakan hak mereka. Terlebih lagi belum ada ganti rugi tanah milik warga yang dijadikan lokasi sirkuit.
“Yang terakhir penerapan undang-undang adalah justru untuk melakukan pembungkaman terhadap hak-hak rakyat,” cetusnya. (red)