Sengkarut Nama Bandara Lombok
KORANNTB.com – Polemik surat Gubernur NTB, Zulkieflimansyah yang meminta maskapai penerbangan mengumumkan perubahan nama Lombok Internasional Airport (LIA) atau Bandara Internasional Lombok (BIL) ke Bandara Zainuddin Abdul Madjid (ZAM), menuai pro-kontra.
Selain itu, Gubernur juga meminta Angkasa Pura I memasang papan nama bandara ZAM, menggantikan LIA.
Pergantian nama bandara sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan nasional asal Lombok, Maulana Syekh yang juga merupakan pendiri ormas Islam terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW).
Sikap Gubernur menuai respon pro-kontra di tengah masyarakat, ada yang mendukung, ada pula penolakan. Bahkan, Senin besok warga Lombok Tengah akan menggelar aksi di Kantor DPRD NTB dan Kantor Gubernur NTB. Estimasi massa diperkirakan berjumlah 5.000.
Koordinator Aksi, Lalu Hizzi, mengatakan pengusulan nama bandara oleh Gubernur NTB sebelumnya, yakni Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) tidak pernah melibatkan DPRD maupun Bupati Lombok Tengah, sehingga hal tersebut memancing ketersinggungan banyak pihak.
“Pengusulan pergantian nama bandara BIL/LIA oleh Gubernur terdahulu/TGB tidak pernah ada pelibatan DPRD I dan II, juga Bupati. Sehingga membuat ketersinggungan banyak pihak, terutama tokoh-tokoh di Lombok Tengah,” katanya, Minggu, 17 November 2019.
Selain itu, nama bandara ZAM dinilai bermuatan politik identitik, dan justru nama bandara sebelumnya sudah familiar di telinga masyarakat.
“Yang kedua pergantian itu sangat bermuatan politis, politik identitas, nama BIL (Bandara Internasional Lombok) sudah sangat familiar dan representatatif keterwakilan semua pihak,” ucapnya.
Dukungan Gubernur
Gubernur NTB Zulkieflimansyah, menanggapi rencana demo tersebut. Dia mengatakan, demo merupakan kebebasan berekspresi. Tapi, dalam konteks perubahan nama bandara menurutnya sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa pahlawan, bukan untuk kepentingan kelompok.
“Tapi dalam konteks perubahan nama bandara, kita mestinya bisa jernih dan tak perlu mengekspresikan perasaan dan kemauaan dengan demo. Ini semua demi daerah kita yang harus kondusif untuk parawisata dan investasi. Kalau sedikit-sedikit demo dan ekspresinya harus di jalanan, kita akan menggapai kesejahteraan dengan jalan yang lebih berliku, mendaki dan terjal,” katanya.
Menurut Zulkieflimasyah, perubahan nama bandara adalah keputusan pemerintah pusat, bukan keputusan gubernur atau bupati.
“Keputusan mengganti nama bandara dengan nama Maulana Syekh bukan karena beliau pendiri NW atau apa, tapi karena penghargaan pemerintah pusat kepada beliau sebagai pahlawan nasional. Beliau milik kita semua bangsa Indonesia. Beliau bukan milik kelompok atau daerah tertentu. Beliau kebanggaan kita semua,” ujarnya.
Gubernur menyebut sudah lazim bandara menggunakan nama pahlawan nasional. Bahkan dia mengatakan telah bertemu Bupati Lombok Tengah, Moh Suhaili FT dan mendapat persetujuan untuk mengganti nama bandara.
“Ketika keputusan pemerintah pusat untuk mengganti nama bandara, sebagai yang muda saya sowan ke Pak Bupati Lombok Tengah dan meminta pendapat beliau. Beliau setuju dan sudah nggak ada masalah apa-apa. Permintaan beliau kalau berkenan katanya dieksekusi setelah Pilpres saja agar daerah kita aman dan kondusif,” ungkapnya.
Bupati Lombok Tengah Tegas Menolak
Bupati Lombok Tengah, Suhaili membantah apa yang disampaikan Gubernur NTB. Dia mengatakan tidak pernah menyetujui pergantian nama bandara.
“BOHONG!!! Saya tetap istiqomah BIL adalah harga mati!!!,” Katanya.
Suhaili menegaskan tidak pernah mengeluarkan statement mendukung perubahan nama bandara. Dia mengatakan tetap Istiqomah dengan nama BIL dan tetap tunduk pada kehendak warga Lombok Tengah yang tidak ingin pergantian nama bandara.
“Tidak pernah… Saya tetap istiqomah BIL dengan pendirian saya. Dan saya harus tetap tunduk dan taat kepada kehendak dan perintah masyarakat Lombok Tengah,” tegasnya.
Sejarah Kisruh
Momen persaingan politik saat Pilkada NTB 2018 diduga menjadi pemantik memanasnya masalah nama bandara.
Pasangan Zul-Rohmi yang dibilang baru kemarin muncul di pentas politik NTB secara mengejutkan menang dalam Pilkada. Dia mengalahkan tiga pasang tokoh NTB yang merupakan mantan kepala daerah kabupaten/kota di NTB.
Zul-Rohmi meraih 811.945 suara, disusul pasangan calon H Moh Suhaili FT-H Muhammad Amin atau Suhaili-Amin yang meraih 674.602 suara. Kemudian pasangan H Ahyar Abduh-H Mori Hanafi atau Ahyar-Mori dengan 637.048 suara dan diposisi terakhir diduduki pasangan H Ali Bin Dahlan-TGH Lalu Gde Sakti Amir Murni atau Ali-Sakti yang meraih 430.007 suara.
Pasca kemenangan tersebut, muncul perubahan nama bandara dari LIA ke ZAM atau Zamia. Padahal, suhu politik pascapilkada masih belum dingin. Itu disinyalir menjadi awal ditolaknya nama bandara ZAM.
Namun isu tersebut dibantah tegas masyarakat di Lombok Tengah. Penolakan nama bandara disebut bukan karena kekalahan Suhaili dalam Pilkada, tapi karena nama BIL atau LIA dinilai sudah tepat dan mewakili Pulau Lombok. Itu dinilai sebagai sarana promosi pariwisata bagi Lombok.
Nama BIL tidak lahir semudah bernapas. Itu setelah melalui sejumlah tahap dan usulan yang panjang.
Pada Januari 2009 hasil jajak pendapat publik yang dilakukan di Lombok menunjukkan bahwa BIL dipilih oleh 40,4% responden, Bandara Internasional Sasak (BIS) 20%, Bandara Internasional Rinjani (BIR) 16,7%, Bandara Internasional Mandalika (BIM) 10,9%, Bandara Internasional Selaparang (SIA) 8%, Bandara Internasional Pejanggik (PIA) 2,9%, dan Bandara Internasional Arya Banjar Getas (ABGIA).
Kemudian, melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1421 Tahun 2018 tentang Perubahan Nama Bandara Internasional Lombok menjadi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid, maka pada 5 September 2018 bandara tersebut berganti menjadi ZAM. Namun karena sejumlah penolakan, pelaksanaan keputusan tersebut belum ditindaklanjuti.
Di sisi lain, ini menjadi momen bersatunya NW Pancor dan Anjani. Meskipun hanya sementara, namun memiliki alasan yang sama untuk mendukung perubahan nama bandara menjadi ZAM. (red)