Derita Warga Pondok Perasi Ampenan, Tergusur dan Termarjinalkan
KORANNTB.com – Sebanyak 83 kepala keluarga di Lingkungan Pondok Perasi, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram terancam digusur. Lahan yang ditempati puluhan tahun akan dieksekusi.
Lahan seluas 80 hektare tersebut diminta untuk dikosongkan atas putusan pengadilan.
Ratusan warga yang berprofesi nelayan, buruh pasar hingga PKL diberi waktu delapan hari untuk mengosongkan lahan sebelum proses eksekusi.
Ketua DPD Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) NTB, Bayu Aryadani, mengatakan putusan pengadilan dinilai belum mencerminkan keadilan bagi rakyat. Rakyat lemah selalu tertindas meskipun mereka telah mendiami tanah tersebut puluhan tahun.
“Itulah mengapa begitu banyak orang-orang lemah yang harus dihempaskan. Mereka didepak dari tempat yang telah ditinggalinya berpuluh tahun,” katanya, Minggu, 22 Desember 2019.
KPR sendiri memilih jalan perjuangan mengadvokasi warga Pondok Perasi. Beragam aksi dilakukan melawan yang mereka sebut ketidakadilan.
“Aksi-aksi protes telah dilancarkan. Hanya saja Walikota Mataram tidak mau menggagalkan. Karena penggusuran dilakukan bukan sekadar buat kepentingan tuan lahan. Tapi terutama demi memuluskan kebijakan pembangunan,” ujarnya.
Kasus tersebut bermula saat gugatan Ratna Sari Dewi yang mengaku sebagai pemilik lahan. Gugatan perdata tersebut dimenangkan hakim.
Ratusan warga tergusur tak mau menyerah atas keadaaan. Mereka terus menggalang dukungan dengan dibantu KPR.
“Penggusuran dan perampasan tanah rakyat atas dasar kepentingan usaha maupun kepentingan pribadi sangat marak di Indonesia. Tidak ada pihak yang lebih bertanggungjawab selain pemerintah yang memberikan izin dan memenangkan hak milik pribadi dan mengorbankan ratusan warga yang telah menghuni tempat tersebut,” ungkapnya.
“Study kasus yang kongkrit bisa kita lihat contoh penggusuran di Taman Sari Bandung yang kejam dan bengis, sehingga rakyat kehilangan tempat tinggal, dan termasuk situasi penggusurusan di Pondok Perasi Ampenan,” sambungnya.
Warga juga telah melayangkan gugatan perlawanan terhadap putusan hakim. Warga RT 08 yang menjadi korban penggusuran menilai putusan tersebut tidak berpihak pada mereka.
“Bagaimana tidak pada awalnya di Pengadilan Tinggi Mataram menyatakan bahwa warga Pondok Perasi menang, dan kemudian kasasi ke MA dan anehnya (putusan) dimenangkan oleh Ratna Sari Dewi,” ujarnya.
Warga juga tidak hanya melawan melalui jalur hukum, tapi juga menggalang solidaritas rakyat. Menurut Bayu, warga sebelumnya dijanjikan akan direlokasi, namun justru lahan relokasi hanya dalam bentuk tenda layaknya pengungsian.
“Lahan yang dijanjikan untuk direlokasi hanya lahan kosong dengan tenda dan tak layak huni,” sesalnya. (red)
Foto: Warga Pondok Perasi dan KPR gelar diskusi soal penggusuran. (Ist)