KORANNTB.com – Tarif angkutan penyeberangan diminta untuk segera dinaikkan, hal itu untuk menghindari kerugian pada operator yang berimbas pada keselamatan penumpang. Pasalnya, biaya kenaikan terus mengalami kenaikan seiring dengan tingkat inflasi dan regulasi keselamatan, sehingga harus adanya penyesuaian tarif.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, saat mengikuti Rakernas PT Dharma Lautan Utama di Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Jumat, 17 Januari 2020, mengatakan jika pemerintah tidak segera melakukan penyesuaian tarif penyeberangan laut, dikhawatirkan akan berdampak pada bisnis dan keselamatan masyarakat.

“Jangan sampai tarif itu di bawah biaya pokok dan tidak bisa untuk investasi. Ini bisa bukan hanya mengurangi secara bisnis tapi juga aspek safety. Industri penyeberangan suatu yang lebih berisiko sehingga harus ada perhatian lebih,” katanya.

Memang sejak 2019 lalu penyesuaian tarif angkutan penyeberangan telah diusulkan pada pemerintah, namun hingga saat ini kenaikan tarif belum terealisasi.

“Yang kemarin sudah diusulkan jangan terlalu lama. Tarif itu mencerminkan keberlanjutan bagi konsumen dan operator,” katanya.

Kenaikan tarif diharapkan dapat sesuai dengan kemampuan konsumen dan juga memberikan pelayanan yang lebih pada konsumen, sehingga keselamatan penyeberangan dapat terpenuhi. Sisi lain, YLKI juga meminta agar tarif itu juga adil terhadap bisnis operator penyeberangan laut.

“Bagi konsumen kemampuan membayar dan pelayanan, juga aspek keberlanjutan bagi operator karena harus ada keberlanjutan tarif. Harus ada keadilan bagi konsumen dan operator,” ujarnya.

Penasehat Utama PT Dharma Lautan Utama, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan standarisasi keselamatan penyeberangan selalu ditambah oleh pemerintah, namun justru membebani pengusaha penyeberangan laut. Apalagi kenaikan tarif hingga saat ini masih dicicil selama tiga tahun. Kenaikan tarif tahap pertama sebesar 11,54 persen. Itu katanya, tidak sebanding dengan standarisasi keselamatan yang dibebankan pada pengusaha penyeberangan laut.

“Standarisasi selalu ditambah oleh pemerintah, akhirnya biaya-biaya yang masuk menjadi beban pengusaha yang sangat besar. Ada sekitar 350 persen penambahan biaya untuk keselamatan, berarti butuh tarif yang harus ditutup,” katanya.

Pemerintah pernah mengabulkan permohonan kenaikan tarif sesuai perhitungan pemerintah sebesar 38 persen. Namun kenaikan tarif belum terealisasi. Sementara angka 38 persen dinilai masih sangat rendah dibanding beban standarisasi keselamatan penumpang yang ditanggung operator penyeberangan.

“Waktu itu diajukan sesuai perhitungan pemerintah 38 persen. Kalau 38 persen dampak pada harga barang itu 0,0005 persen jadi kecil sekali, tapi ini demi keselamatan nyawa publik yang diangkut,” ujarnya.

Mantan Anggota DPR RI dari Partai Gerindra ini juga meminta pemerintah tidak terus membebani pengusaha penyeberangan laut dengan terus menciptakan regulasi yang berdampak pada biaya yang dikeluarkan operator penyeberangan.

“Kita juga meminta pemerintah tidak terus menerus menerbitkan regulasi baru yang enggak ada artinya. Hanya beban biaya. Karena kalau pelayaran mati maka terjadi stagnasi total, ekonomi akan mati,” tandanya.

Dia menyebut banyak perusahaan yang mati atau tidak berjalan karena beban standarisasi keselamatan penumpang yang dikeluarkan pemerintah. Sementara tarif penyeberangan belum kunjung dinaikkan.

“Sudah banyak perusahaan mati pada sulit, tidak bisa mengangsur bank, tidak bisa membayar gaji karyawan dan bahkan mengurangi unsur-unsur keselamatan. Idealnya enam bulan sekali harus dilakukan penyesuaian tarif. Itu sesuai peraturan menteri,” katanya.

Dia mengatakan kenaikan tarif yang dicicip selama tiga kali saat ini harusnya dibarengi dengan subsidi yang diberikan pemerintah, sehingga perusahaan yang bergerak di bidang penyeberangan laut tidak mengalami kerugian signifikan.

“Kalau kenaikan tarif dicicil semestinya harus disubsidi kekurangannya,” katanya. (red)

*Foto: Pexels