KORANNTB.com – Pada tanggal 14-15 Februari 2020 digelar festival puncak Bau Nyale. Tradisi tahunan masyarakat Sasak ini untuk mengenang figur sentral masyarakat Lombok, yaitu Putri Mandalika.

Masyarakat biasanya akan berbondong-bondong mencari Nyale di Pantai Seger dan sekitarnya. Nyale diyakini jelmaan Putri Mandalika.

Namun, ada hal unik yang dilakukan sekelompok masyarakat dalam mencari Nyale. Mereka meyakini jika Nyale dipanggil dengan sebutan jorok seperti caci maki, maka akan muncul di permukaan pasir.

Budayawan Sasak, Lalu Putria, menegaskan bahwa cara seperti itu adalah kekeliruan dan bukan menjadi bagian nilai-nilai adat Sasak.

“Harusnya kita menggali nilai-nilai budaya adi luhung yang berguna dan dapat membawa nama baik daerah,” katanya, Minggu, 10 Februari 2020.

Dia mengatakan, cara memanggil Nyale dengan umpatan berawal dari saling guyon antara pemuda dengan temannya saat mencari Nyale. Kebiasaan itu kemudian mulai menyebar saat mencari Nyale, bahkan di setiap festival Bau Nyale.

“Jangan kemudian hal-hal yang jelek kita pertahankan, itu alasan pembenaran, karena masyarakat di situ terutama yang muda-muda saling ganggu. (Cara memanggil Nyale dengan umpatan) itu kan tidak ada sumber yang dapat dipercaya,” ujarnya.

Dia menjelaskan, dalam adat istiadat Sasak pandita telu yang mengatur: adat game atau hubungan manusia dengan Tuhan, adat tapsile atau hubungan manusia dengan manusia dan adat lawir game yang mengatur keselarasan manusia dengan alam beserta isinya.

Dijelaskan, Putri Mandalika yang menjadi sumber atau asal usul festival Bau Nyale memiliki filosofi pohon yang berguna bagi semua orang.

“Putri Mandalika mengajarkan sebuah filosofi pohon, mencari nutrisi makanan ke dalam tanah sampai puluhan meter, itu menghasilkan daun, bunga dan buah, tapi daun, bunga dan buah bukan untuk dirinya sendiri. Pohon tidak pernah mau tau untuk siapa daun, buah dan bunga dimanfaatkan,” katanya. (red)