KORANNTB.com – Jika tradisi Bau Nyale digelar di Lombok sebagai bentuk bukti patuhnya warga Sasak terhadap “Ubaye”, yaitu permintaan terakhir Putri Mandalika sebelum menjatuhkan diri ke laut dan berubah menjadi nyale, di Sumba, Nusa Tenggara Timur juga memiliki tradisi serupa.

Kisahnya juga sama dengan Putri Mandalika yang melompat ke laut karena tidak ingin ada pertumpahan darah di antara pangeran yang ingin mempersunting dirinya.

Bedanya, di Sumba bermula dari kisah Ubu Dulla, seorang pemimpin dari sebuah kampung yang mengembara ke luar daerah untuk mencari solusi bagi masyarakat yang kelaparan.

Setelah berkelana bertahun-tahun, Ubu Dulla tidak kembali, sehingga tahta kerajaan diberikan pada istrinya Rabbu Kabba. Karena telah lama tidak kembali, sang istri kemudian menikah dengan seorang pria bernama Teda Gaiparona.

Setelah mereka menikah ternyata Ubu Dulla muncul kembali dan sangat marah. Dia kemudian mengumpulkan pasukan untuk kembali merebut tahtanya dari tangan mantan istri.

Karena tidak ingin ada pertumpahan darah, Rabbu Kabba akhirnya melompat ke laut dan berubah menjadi nyale. Nyale tersebut kemudian dimanfaatkan masyarakat Sumba.

Kini setiap tahun masyarakat Sumba selalu merayakan tradisi menangkap Nyale. Biasanya tradisi akan dibarengi dengan tradisi Pasola, yaitu permainan melempar tombak agar masyarakat mendapatkan berkah dari para leluhur. Masyarakat penganut agama lokal Marapu di Sumba meyakini jika menggelar tradisi tersebut akan terjaga dan terlindungi oleh leluhur.

Masyarakat Sumba juga meyakini nyale adalah jelmaan Rabbu Kabba. Nyele diyakini sebagai sumber kesuburan dan kemakmuran. (red)

Foto: Ilustrasi Bau Nyale di Lombok