Penulis: Risma Inayah 

Relawan Konselor Psikologi di Women Crisis Center (WCC) Rifka Annisa Yogyakarta

Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

KORANNTB.com – Sunat perempuan merupakan praktik yang masih banyak dilakukan di beberapa negara di dunia. Laporan UNICEF (2016) menunjukkan bahwa lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban female genital mutilation atau yang lebih dikenal dengan sunat perempuan. Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) Female genital mutilation merupakan segala prosedur yang melibatkan pemotongan sebagian atau secara keseluruhan alat kelamin bagian luar wanita atau melukai alat kelamin wanita untuk alasan non-medis.

Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan angka sunat perempuan tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia. Menurut laporan tersebut, separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta di Indonesia (DW.com, 2016). Di Indonesia, praktik sunat masih terjadi di berbagai wilayah, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Praktik sunat perempuan di wilayah NTB dianggap sebagai anjuran agama yang wajib dipatuhi dan atas dasar tradisi dan budaya. Sunat perempuan dianggap sebagai praktik menghilangkan bagian tertentu pada vagina perempuan yang dianggap tidak bersih untuk tujuan menyucikannya. Ada anggapan bahwa di bagian tersebut terdapat kotoran atau najis sehingga harus dibersihkan.

Di wilayah Bima, sunat perempuan disebut sebagai “Saraso” yang secara harfiah berarti membersihkan. Bahkan di wilayah Sumbawa, sunat perempuan seringkali dirayakan sebagaimana sunat pada laki-laki yang dikenal dengan istilah “Batoba”. Begitupun di wilayah Lombok dikenal dengan istilah “Tesuci”.

Sunat perempuan juga dianggap sebagai salah satu cara untuk menekan nafsu seksual pada perempuan agar mampu untuk tetap setia ketika ia membangun rumah tangga. Ada stigma kepada perempuan yang tidak disunat, maka ia tidak akan mampu menjaga kesuciannya sebelum dia menikah karena hasrat seksual yang tinggi. Seorang perempuan yang belum disunat  juga dianggap belum secara sah sebagai seseorang yang beragama Islam. Padahal, Saadawi (2011) dalam bukunya mengatakan bahwa praktik sunat perempuan telah ada sejak sebelum Islam hadir di tanah Arab.

Praktik sunat perempuan juga dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban sosial karena hampir seluruh masyarakat muslim NTB melakukannya. Jika tidak melaksanakannya, maka seseorang tersebut akan menjadi bahan pembicaraan oleh masyarakat sekitar dan dianggap sebagai keputusan yang tidak wajar.

Praktik sunat perempuan memperlihatkan bagaimana masyarakat mengontrol segala hal yang ada pada perempuan, termasuk hasrat seksualnya. Padahal disebagian wilayah Indonesia, praktik sunat perempuan sudah jarang ditemukan, misalnya di daerah DI Yogyakarta. Tidak ada bukti signifikan yang menunjukkan bahwa perempuan yang tidak disunat maka tidak akan mampu mengontrol hasrat seksual yang ia miliki. Praktik sunat perempuan merupakan bentuk nyata ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan.

Menurut WHO, praktik sunat perempuan tersebut dinilai berbahaya bagi perempuan, baik secara fisik maupun psikologis. Berbeda dengan sunat pada laki-laki yang memberikan keuntungan secara medis, upaya sunat perempuan yang sama sekali tidak ada keuntungan medis merupakan praktik yang melanggar hak perempuan atas kesehatan dan hak atas tubuhnya. Atas hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan surat edaran mengenai larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan sebagai upaya untuk membatasi praktik sunat yang membawa banyak kerugian bagi perempuan. WHO juga mengeluarkan pernyataan bahwa praktik sunat perempuan merupakan pelanggaran HAM.

Namun beberapa Ormas Islam menolak upaya pembatasan tersebut dan kemudian MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan Fatwa MUI No 9A tahun 2008 mengenai hukum sunat perempuan. Sunat perempuan dianggap sebagai syariat yang dianjurkan. Atas desakan dari MUI, kemudian Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Kementerian mengena panduan melakukan sunat perempuan bagi tenaga medis.

Sunat perempuan yang didefinisikan dalam surat edaran adalah menusuk bagian kulit klitoris dengan menggunakan jarum sekali pakai tanpa melukai klitoris dan harus dilakukan oleh tenaga medis. Namun sayangnya, dalam praktik sunat terutama di desa-desa terpencil sunat perempuan dilakukan oleh dukun atau orang yang dianggap mampu untuk melakukannya. Tak ada yang dapat memastikan bahwa alat yang digunakan steril dan bagian yang dihilangkan adalah hanya kulit klitoris. Pada praktiknya, masih banyak yang juga memotong sebagian klitoris pada vagina perempuan. Hal ini tentunya akan membahayakan kesehatan perempuan tersebut yang akan berdampak pada kehidupan seksual seorang perempuan ketika dewasa.

Oleh karena itu, sunat perempuan yang lebih banyak membawa kemudharatan dibandingkan manfaat untuk kehidupan manusia ada baiknya dikaji kembali mengenai “kewajiban” pelaksanaannya. Dengan melihat masih maraknya praktik sunat perempuan yang tidak terstandar kesehatan, pemerintah dan tenaga kesehatan harus gencar untuk melakukan sosialisasi mengenai pelaksanaan praktik sunat yang tidak membahayakan dan merugikan kehidupan perempuan di masa mendatang.

Selain itu, salah satu solusi yang ditawarkan mengenai sunat perempuan adalah “sunat simbolis” dengan mengoleskan kunyit pada kulit klitoris sebagai ganti penggoresan atau pemotongan sebagian klitoris. Menjaga tradisi dan budaya merupakan kewajiban kita sebagai masyarakat, namun jika tradisi dan budaya tersebut lebih banyak membawa kemudharatan dibandingkan dengan manfaat bagi kehidupan umat manusia apakah layak untuk tetap dipertahankan?