Fenomena “Merariq Kodeq” di Tengah Masyarakat
Oleh: Santi Afriana
Mahasiswi Program Studi Sosiologi Universitas Mataram
KORANNTB.com – Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dengan seorang wanita yang belum mencapai usia 16 tahun. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (pasal 1), perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.
Pernikahan juga dapat dikatakan sebagai peristiwa ketika sepasang mempelai dipertemukan secara formal dihadapkan penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami-istri melalui upacara. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah atau kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Sekarang ini, pernikahan usia dini menjadi hal yang lumrah di masyarakat, seakan-akan pernikahan usia dini menjadi tradisi di masyarakat. Tanpa banyak yang menyadari bahwa pernikahan usia dini bisa menjadi masalah sosial. Kenapa? Karena pernikahan usia dini memiliki dampak negatif, di antaranya seperti timbul kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (baik fisik, psikis, seksual, penelantaran, maupun eksploitasi) menyebabkan pernikahan tidak bahagia/harmonis karena emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan pola pikir yang belum matang sehingga timbul konflik berujung perceraian.
Pernikahan usia dini tidak hanya berdampak pada keluarga yang akan dibina, namun juga berdampak bagi sang anak seperti banyak anak terlantar. Pasangan yang menikah dalam usia terlalu muda seringkali juga akan melahirkan banyak anak sebab tidak menjalani keluarga berencana dan tidak memahami dengan baik tentang berbagai alat kontrasepsi. Ini mengakibatkan banyak anak yang tidak tercukupi kebutuhannya dan ditelantarkan oleh orang tua. Dan terjadinya komplikasi persalinan yang berdampak pada tingginya angka kematian anak dan anak lahir dengan berat badan yang rendah.
Pernikahan usia dini juga berdampak bagi remaja yang melakukan pernikahan dini seperti menyebabkan terjadinya tekanan sosial. Beban juga akan dirasakan para remaja yang melakukan pernikahan dini.
Remaja pria akan dituntut untuk menjadi kepala rumah tangga sekaligus mencari nafkah untuk keluarga meski usia masih terbilang sangat muda yang menyebabkan timbulnya pekerja anak. Sedangkan wanita dituntut untuk bisa membesarkan dan mengurus anak sekaligus rumah tangga meski secara psikologis belum siap sepenuhnya untuk melaksanakan tanggung jawab sebesar itu. Akhirnya, jika pasangan tersebut tidak bisa memenuhi tuntutan sosial, maka mereka akan dikucilkan, menjadi bahan omongan, dan dicap buruk oleh warga di sekelilingnya dan akan semakin sulit mendapatkan dukungan dari orang sekitar saat membutuhkan.
Pernikahan usia dini juga menyebabkan sempitnya peluang mendapat kesempatan kerja yang otomatis mengekalkan kemiskinan (status ekonomi keluarga rendah karena pendidikan yang minim).
Banyak yang melakukan pernikahan usia dini bukan karna mereka siap, namun karna memang adanya faktor-faktor dari individu yang membuat atau memaksa mereka untuk menikah. Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pernikahan usia dini di antaranya:
a.faktor ekonomi
karena ingin terbentuknya identitas dengan perpindahan status sesuai status si suami, adanya harapan untuk merubah status sosial dengan mobilitas sosial, dan orang tua yang tak mampu membiayai hidup dan sekolah terkadang membuat sang anak memutuskan untuk menikah dini. Sejuta harapan sudah terbayangkan apabila ia memutuskan untuk menikah dini, maka hidupnya akan tercukupi secara materi.
b.faktor pendidikan
Tidak adanya pengetahuan mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai maupun keturunannya. Rendahnya tingkat pendidikan ataupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat terhadap dampak negatif pernikahan pada usia anak sehingga menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anaknya yang masih dibawah umur.
c.faktor keluarga
Kasih sayang dan perhatian orang tua yang overprotektif sehingga anak menjadi tertekan sehingga mencari cara untuk bebas dari keluarga dan perceraian orang tua dapat mengurangi fungsi afektif dalam keluarga sehingga anak mencari pelampiasan lain atau kebahagiaan lain yang ia tak temukan dikeluarganya.
d.faktor budaya/lingkungan
Karena tradisi di keluarga atau di lingkungan sudah biasa menikahkan anaknya pada usia muda, dan hal ini berlangsung terus menerus, sehingga anak-anak yang ada pada keluarga tersebut secara otomatis akan mengikuti tradisi tersebut.
e.faktor media massa (internet)
Postingan orang-orang yang melakukan pernikahan usia dini yang seolah-olah menggambarkan kebahagiaan tanpa adanya masalah seolah-olah membuat pengguna sosial yang melihatnya memiliki keinginan untuk menikah. Juga, penggunaan media massa yang tidak semestinya dan gaya berpacaran yang bebas menyebabkan hamil di luar nikah. Karena mudahnya akses informasi, anak mengetahui hal yang belum seharusnya mereka tahu di usianya. Maraknya ekspose seputar seks di media massa menyebabkan remaja semakin terbuka terhadap seks, hal tersebut yang mendorong anak untuk ingin menikah.
f.faktor pemahaman agama
Bahwa dengan menikah itu dapat melipat gandakan pahala, dan membuat ladang amal semakin bertambah seperti yang dikatakan dalam sebuah hadist bahwa salat dua rakaat orang yang sudah berkeluarga lebih utama 70 rakaat dari pada salat yang belum menikah (HR.Ibnu Ady).
Pemahaman tentang menikah dapat melipat gandakan rezeki, mempermudah urusan, akan berkecukupan karena Allah SWT memampukan mereka dengan karunia-Nya (Sesuai di jelaskan dalam Quran Surat An-Nur ayat 32).
Dari pemaparan di atas, ada beberapa solusi yang penulis rekomendasikan, di antaranya yakni melakukan sosialisasi atau memberikan pemahaman tentang dampak yang bisa ditimbulkan dari pernikahan usia dini, orang tua membiarkan anak mendapat kesempatan untuk mengeyam pendidikan setinggi-tingginya.
Selain itu, berikan akses dan cari sarana agar anak sibuk sekolah dan tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal yang negatif, agar dapat menata dan merencanakan masa depan yang lebih cerah. Jika memang harus putus sekolah dan membantu keadaan ekonomi keluarga, diharapkan orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk melakukan aktivitas yang positif sesuaikan dengan minat dan bakat anak seperti kursus ataupun bekerja, dan perlunya membekali anak dengan norma susila atau norma agama serta memperkenalkan ajaran agama sejak dini sehingga akan menjauhkan anak dari hal-hal yang kurang baik.