KORANNTB.com – Seorang perempuan investor asal Korea, Jenni Lee yang kini menjadi WNI mendatangi kantor DPRD Kabupaten Lombok Tengah, Rabu, 4 Maret 2020.

Link Banner

Kedatangan istri Mr Lee ini untuk mengadu karena merasa didiskriminasi atas kasus yang menimpa suaminya di Aparat Penegak Hukum. Suaminya disidangkan atas kasus penipuan dan penggelapan. Jenni juga sampaikan kepedulian akan nasib karyawannya.

Di hadapan Ketua Komisi III DPRD Loteng, Jenni Lee berkeluh kesah akan nasib suaminya yang saat ini sedang menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Praya dan berdampak pada keberlangsungan perusahaan karena di dalamnya juga terdapat nasib 70 orang tenaga kerja lokal yang ada di desa tersebut.

Dia menuturkan, pada tahun 2017, suaminya (Mr Lee) mulai membangun pabrik bata ringan nama perusahaan PT Lombok Mulia di wilayah Desa Batunyala, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah, NTB. Pabrik itu dibangun ingin membantu pemerintah daerah dalam menyediakan kebutuhan akan bata ringan, khususnya untuk membangun rumah tahan gempa dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

Sejarah kasus bermula saat Mr Lee membutuhkan mesin operasional, kemudian membangun komunikasi dengan Mr Rui Jun untuk berencana tanam saham. Kesepakatan pun berlanjut, akan tetapi mesin tersebut tidak sesuai perjanjian atau tidak bisa datang, alasan Mr Rui Jun yang merupakan Warga Negara Tiongkok China, terkendala biaya pengiriman. Mr Rui Jun pinjam uang di Mr Lee alasan biaya pengiriman termasuk untuk teknisi sebesar Rp 6 miliar.

“Malah suami saya bantu pembelian dan pengiriman serta alat pendukung itu,” kata Jenni Lee.

Tidak cukup sampai di sana, terjadi kesepakatan bahwa Mr Lee siap menerima mesin karena ingin usaha itu berjalan lancar sehingga muncul perjanjian kedua, Mr Lee tetap ikuti permintaan Mr Rui untuk tentukan saham 49 persen untuk Mr Rui Jun, dan 51 persen untuk Mr Lee, terlebih ada ancaman bahwa mesin tidak akan datang kalau tidak mau membantu dalam keuangan.

Secara diam-diam, Mr Rui Jun, jual sebagian saham seharga 4 miliar, meskipun saat yang tersebut belum menjadi miliknya. Setelah Mr Rui Jun mendapatkan uang, anehnya mesin yang dijanjikan hanya dikirim sampai Surabaya. Akhirnya, perjanjian segala pengeluaran dalam pengiriman sampai beroperasi ditanggung bersama. “Itupun Mr Lee terpaksa, hanya memikirkan nasib pabrik dan pekerja,” kata dia.

Saat mesin sudah tiba di Lombok pada bulan Maret 2019, mereka duduk bareng rapat untuk bahas saham, di sana Mr Lee tawarkan ke Mr Rui Jun untuk melunasi utang biaya pengiriman dan bayar teknisi, tapi Mr Rui Jun menolak dan minta agar pembayaran itu dari bagi hasil saham.

“Saat itu, Mr Rui Jun bilang, kalau Mr Lee ingin tetap ambil semua saham, tidak apa-apa, tapi minta bayar mesin seharga Rp 35 miliar, padahal uang Mr Lee ditotal masuk Rp 13 miliar untuk beli mesin dan biaya segalanya,” tuturnya.

Karena tidak menemukan kesepakatan, Mr Rui Jun seakan kecewa, dan datangkan teknisi sabotase mesin itu. Sejak mesin dikunci, pabrik tidak bisa beroperasi lagi.

Sekitar dua bulan kemudian, tiba-tiba ada laporan kepolisian bahwa Mr Lee telah melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan. Polisi bergerak  menyegel mesin dan menangkap Mr Lee. Sebelumnya polisi telah mengupayakan mediasi bagi kedua yang bersengketa tersebut, namun mediasi gagal.

“Ini sangat aneh bagi kami sekeluarga. Itulah sebabnya kami datang mengadu ke DPRD Loteng, terlebih nasib karyawan yang sangat saya prihatin,” paparnya.

Terkait keluhan itu, Ketua Komisi III DPRD Loteng, Andi Mardan akan pasang badan menjamin investor yang akan masuk di Loteng untuk berinvestasi. Kaitan dengan kisruh internal perusahaan, terlebih sedang proses hukum merupakan ranah APH.

“Perlu di ingat juga, di satu sisi bata ringan ini menjadi kebutuhan daerah, sehingga dewan welcome dan akan bantu investor carikan solusi,” tegasnya.

Dia berharap proses hukum ini segera terselesaikan apalagi di sana ada pekerja yang butuh hidup tapi mata pencaharian hilang gara-gara proses hukum ini.

“Daerah ingin melindungi ekonomi masyarakat agar tetap hidup. Mau tidak mau, ini akan jadi atensi, akan disampaikan ke pimpinan dan lintas Komisi, bila perlu buka bentuk investasi perusahaan Mr Lee ini,” katanya.

Politisi Demokrat ini akan memanggil perusahaan bersangkutan dan pihak-pihak terkait untuk mencari benang merah.”Kami tidak masuk pencegahan ranah hukum, namun akan cari solusi. Miris melihat kasus ini jika pekerja terlantar,” ujarnya.

Sebelumnya, Ida Jaka Mulyana, kuasa hukum Lee Jong Kwak atau Mr Lee menilai kasus yang menjerat kliennya, terlalu dipaksakan. Menurutnya ini murni kasus perdata. Namun, seakan di arahkan ke pidana. “Wajar kalau kami melihat ada dugaan klien kami dikriminalisasi,” tegasnya, di PN Praya belum lama ini.

Saat ini, kata dia sidang perdata berlangsung di Pengadilan Tinggi Negeri (PTN) Mataram. Di sisi lain, ada juga sidang pidana di PN Praya. Dia menilai seharusnya, sidang pidana disetop. Itu sebagaimana ketentuan Undang-undang yang berlaku.

“Ini murni masalah bisnis. Jadi perkara ini tidak boleh dilanjutkan lagi,” kata Ida, didampingi dua rekan advokatnya.

Dia menceritakan, kasus kliennya berawal dari perjanjian pembelian mesin bata ringan dengan Mr Rui Jun warga China. Nilai investasinya sebesar Rp 40 miliar. Kliennya menyiapkan lokasi, sarana dan prasarana di Desa Batunyala, Kecamatan Praya Tengah. Sedangkan, mesin dari Mr Rui Jun. Harganya sebesar Rp 21 miliar. Dengan syarat, mesin diterima di Lombok.

Sayangnya, mesin yang dimaksud justru sampai di Surabaya Jawa Timur. Dalam perjalanan, tiba-tiba mesin yang dimaksud harganya naik menjadi Rp 31 miliar. Di satu sisi, kliennya sudah menyerahkan uang secara bertahap. Dengan harapan, mesin tersebut dikirim ke Lombok. Totalnya mencapai Rp 13 miliar.

Kendati demikian, kliennya siap melakukan perhitungan dan pembagian saham. Sayangnya, mesin yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Setelah dicek, ternyata sudah dijual ke pihak lain. Pertanyaannya sekarang, kata Ida di mana kesalahan yang dilakukan kliennya.

Seharusnya, kliennya yang menjadi korban. Bukan menjadi pelaku. Sehingga, bukti-bukti yang disampaikan pihak penyedia mesin seolah dibuat-buat. “Orang awam saja bisa membaca dan melihat kasus ini. Terkesan lucu,” tambah Joni Bakar, kuasa hukum Mr Lee.

Dia menilai, bagaimana ada pembagian saham. Jika perjanjian yang dibuat dilanggar. Untuk itulah, pihaknya berharap Majelis Hakim bersikap adil dan bijaksana menelaah, meneliti, memandang, melihat dan menilai kasus kliennya. Jika tidak, ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum. (red)