Oleh: Taufan, S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram

KORANNTB.com -Hasil penelitian Centre for Mathematical Modelling of Infectious Diseases (CMMID), memberikan peringatan bahwa akan terjadi lonjakan pasien positif COVID-19 pada April mendatang, diakui bahwa terdapat keterbatasan tes yang dilakukan, dan masih banyak yang tidak terdeteksi. Diperkiran jumlah kasus positif sebenarnya di Indonesia adalah puluhan ribu dan bisa mencapai 250.000, tergantung pada tingkat penularannya.

Pemodelan CMMID menunjukkan kemungkinan ada 70.000 kasus yang tidak terdeteksi di Indonesia, dan berpotensi sebanyak 250.000, tergantung pada dua variabel kunci, tingkat kematian dan tingkat penularan, yang mengukur berapa banyak orang yang kemungkinan akan terinfeksi oleh satu orang. Memperhatikan kondisi demikian, tentu sangat mencemaskan, sekaligus mengirimkan pesan kepada kita semua untuk bersiap perang melawan wabah.

Perang Tanpa Informasi

Sejak awal, informasi perkembangan Covid-19 sangat terbatas, lebih menunjukan ketidasiapan dan kegagapan pemerintah. Maksud pemerintah bersikap hati-hati agar masyarakat tidak panik, namun justru teledor dan menumpuk kepanikan. Dengan terbatasnya informasi dari pemerintah, informasi alternatif pun banyak beredar, tidak jarang keliru atau bahkan berita bohong (hoax), masyarakat yang polos, yang sedang cemas dengan wabah tanpa pikir panjang menyebarluaskan dengan penuh harap meningkatkan kewaspadaan semua, namun ternyata berita tersebut dianggap keliru ataupun hoax. Masyarakat tentu menjadi pihak yang disalahkan, dihujat dan dicaci maki, polisi pun beraksi, membabat semua pelaku penyebaran hoax.

Selain itu, minimnya informasi, masyarakat tidak persis tahu jenis musuh apa yang dihadapi, sehingga tidak memiliki kewaspadaan, kelewat santai, menganggap enteng, sampai dengan menjadi bahan lelucon. Parahnya, di saat pemerintah meliburkan selama 14 hari, masyarakat justru memanfaatkan sebagai momentum berwisata ria. Dan tentu ulah masyarakat menjadi sasaran hujatan khalayak ramai.

Belakangan, pemerintah memfungsikan kepolisian dan TNI dalam sosialisasi Covid-19. Hal demikian patut diapresiasi, namun ada baiknya melibatkan tenaga medis atau tenaga kesehatan mengingat persoalan pandemi Covid-19 sangat kompleks. Maka, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu unsur yang betul-betul memiliki kompeten untuk menjelaskan. Tidak cukup hanya disampaikan bahaya, ciri, gejala dan pencegahan melalui teks. Hal itu belum tentu dapat memberikan pengaruh. Tenaga medis atau tenaga kesehatan, lebih paham seluk beluk Covid-19 dan aspek kesehatan secara umum, mulai dari penggunaan istilah, pemilihan bahasa serta kemampuan deskripsi, sehingga dapat menancapkan pemahaman secara utuh. Jadi bukan persoalan mengenal Covid-19, tapi bagaimana hal itu mampu dipahami dan melebur dalam jiwa dan raga untuk memberikan stimulus setiap tindakan masyarakat.

Berbagai reaksi yang telah dilakukan pemerintah jelas lebih menekankan pada pendekatan birokratis ketimbang pendekatan epidemologis. Hal tersebut ditunjukan dengan aksi grebek, mengancam atas penimbunan masker, proses peradilan penyebaran hoax dan pelibatan aktif kelembagaan yang mengontrol ulah masyarakat. Akhirnya, yang lebih terlihat adalah perang pemerintah melawan penjahat ketimbangan memerangi wabah.

Demi Ekonomi

Pemerintah dan beberapa pihak mengkhawatirkan lockdown menimbulkan dampak ekonomi. Pemerintah melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19 juga telah menyampaikan, lockdown atau isolasi total berbahaya terhadap perekonomian yang dapat memicu krisis.

Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri menyatakan tindakan lockdown akan membawa dampak ekonomi yang cukup besar kepada Indonesia. Sebab, kebijakan lockdown disertai dengan penghentian aktivitas kebanyakan pekerja. Indonesia pun belum memiliki kekuatan dari sisi ketahanan pangan yang berdampak pada kelaparan massal di Jabodetabek. Kemudian, gejolak panic buying masyarakat yang belum bisa diantisipasi oleh pemerintah, sehingga memberikan tekanan terhadap masyarakat menengah ke bawah. Angka kemiskinan pun terancam naik. Sehingga, Indonesia rentan krisis ekonomi lebih cepat jika lockdown diberlakukan.

Kondisi ekonomi yang demikian memberikan pemerintah pusat sedikit pilihan untuk dapat leluasa memilih langkah menghalau Covid-19. Sulit bagi pemerintah menegaskan lockdown, pemerintah tidak siap dengan segala konsekuensi hukumnya, tentu lebih memilih risiko yang lebih minim untuk keberlanjutan negara, juga dengan pertimbangan faktor ekonomi akan berdampak pada sosial dan dan keamanan. Hal tersebut juga berarti, jika pemerintah memilih ekonomi daripada status darurat atau opsi lockdown, maka pemerintah seolah sedang ingin menyampaikan pesan bahwa “ingin melindungi lebih banyak nyawa manusia”.

UU No.6 Tahun 2018 mengatur penentuan tempat atau lokasi kekarantinaan kesehatan wilayah (lockdown) didasarkan pada hasil penyelidikan epidemiologi dan/atau pengujian laboratorium (pertimbangan epidemiologis), besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, termasuk pula pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.

Di samping itu, penerapan lockdown pun sulit diterapkan, mengingat ketidajelasan indikator dan basis basis data masyarakat miskin, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), ataupun pekerja informal, bantuan yang diberikan tentu akan salah sasaran dan tidak merata, mengingat pula masih merebaknya okum yang “mencari kesempatan dalam kesempitan” melakukan praktik korupsi, akan terjadi peningkatan data “si miskin” yang diajukan. Sehingga apabila semua hal tersebut tidak diantisipasi oleh pemerintah, lockdown berpotensi menimbulkan kekacauan. Di sisi lain, membiarkan wabah leluasa berkeliaran adalah sebuah kejahatan. Pilihan yang sulit bagi pemerintah.

Jalan Lain (Aman)

Pemerintah pusat, berkali-kali telah menyampaikan dengan tegas, tidak ada langkah lockdown dalam mengatasi atau menghalau penyebaran Covid-19, pemerintah memilih untuk tes massal, namun masih sangat terbatas dibandingkan jumlah penduduk dan potensi sebaran virus.

Presiden Joko Widodo (24/03/2020) kembali meyakinkan bahwa kebijakan lockdown tidak dilakukan karena setiap negara memiliki karakter, budaya, kedisplinan yang berbeda-beda, yang cocok diterapkan di Indonesia adalah menjaga jarak fisik antar individu masyarakat (physical distancing) atau menjaga jarak aman (physical distancing). Jika itu bisa kita lakukan, Jokowi meyakini dapat mencegah penyebaran Covid-19. Untuk menjaga jarak antar individu manusia, membutuhkan sebuah kedisplinan yang kuat, ketegasan yang kuat.

Kampanye “social distancing”, “cuci tangan dengan sabun” dan “di rumah saja”, memang menjadi tiga himbauan andalan pemerintah saat ini. Namun. kenyataannya status sosial masyarakat tidak sama. Bagi setiap orang yang telah diberikan jaminan, di rumah saja tentu masih terdapat banyak sisi menyenangkan. Namun, perlu dipikirkan nasib bagi “si miskin” yang menggantungkan hidup di luar rumah, gerakan kampanye itu tidak mudah diterima sehingga tidak memberikan pengaruh yang signifikan.

Bagi “si miskin”, virus masih memberikan peluang hidup lebih besar, ketimbang berdiam diri bertarung dengan kelaparan dan merusak siklus kehidupan. Keluar rumah cari makan dengan kemungkinan terpapar Covid-29 masih ada keyakinan minimal belum tentu terpapar atau terpapar tapi belum pasti mati. “Si miskin”, tidak memiliki banyak pilihan, risikonya terburuknya  sama, mati.

Pemerintah terus mengajak masyarakat untuk melawan bersama Covid-19, menuntut setiap orang termasuk “si miskin” untuk disiplin mengikuti imbauan, “si miskin” tentu tidak patuh dan dianggap tidak memiliki kesadaran. Bukan tidak sadar, tetapi status sosialnya yang menjepit. Yang jelas “si miskin” sadar, bahwa dia, istri dan anak butuh hidup, mereka akan lebih memilih bertarung dengan wabah daripada harus menyerahkan diri pada kelaparan.

Kelompok “si miskin” juga harus memikirkan cicilan dan bayar tagihan, mereka terus diteror. Tidak ada yang betul-betul dihapus atau diringankan, sekedar nasi bungkus, susu dan popok si kecil, juga syukur-syukur ada keringanan cicilan, tagihan listrik dan air serta internet gratis seperti kebijakan pemerintah Malaysia.

Opsi ”social distancing” dan tidak diubahnya status bencana nasional menjadi darurat nasional, juga terakhir adanya keinginan pemerintah untuk menerapkan undang-undang darurat sipil, memungkinkan pemerintah untuk menghindari kewajiban. Hal demikian kembali terkesan mengakali hukum, karena dalam UU No. 6 Tahun 2018 jelas-jelas mengatur karantina rumah dan pembatasan kegiatan sosial yang memberikan tanggungjawab hukum terhadap pemerintah pusat.

Sehingga pemilihan kata ”social distancing” tidak membebani kewajiban hukum pemerintah yang tentu menambah beban keuangan negara, karena tidak memiliki konsekuensi hukum yang berarti seperti pemenuhan hak dasar setiap orang, kebutuhan pangan dan kebutuhan kehidupan sehari-hari, sehingga tentu “murah meriah”. Imbauan memang pilihan tepat, mengecam kepada setiap orang yang tidak patuh tanpa harus memikirkan kewajiban pemenuhan kebutuhan hidup mereka, di tambah mengoptimalkan fungsi kelembagaan seperti kepolisian di garis terdepan untuk mengancam dan memasukan dalam proses peradilan pidana.

Ditambah lagi kecaman akan diikuti oleh semua yang berada di belakang panggung, barisan pendukung fanatik dan para buzzer yang membabi buta, siap membela dan mendukukung apapun kalimat tuannya, juga tampak dalam barisan itu “si miskin” juga ikut mengecam sesama “si miskin” di seberang.

Maka, kita kembali berharap kepada pemerintah untuk mempertimbangkan nyawa manusia (hak hidup) dengan pendekatan yang menekankan pertimbangan epidemomiologis dalam menghalau dan mengurangi wabah, membekali masyarakat dengan kejujuran dan keterbukaan informasi serta memenuhi segala hak warga negara, terutama hak “si miskin”.