Oleh: Taufan Abadi, S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram

KORANNTB.com – Pemerintah pusat, berkali-kali telah menyampaikan dengan tegas, tidak ada langkah lockdown dalam mengatasi atau menghalau penyebaran Covid-19. Namun, memperhatikan berbagai langkah pemerintah beberapa hari terakhir, sesungguhnya pemerintah diam-diam telah mengarah pada penerapan lockdown.

Lockdown, adalah tindakan atau kondisi darurat pembatasan akses penuh, orang-orang dicegah untuk sementara waktu memasuki atau meninggalkan area atau bangunan terbatas. Berdasar terminologi hukum di Indonesia, konsep lockdown merupakan bagian kekarantinaan kesehatan yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan). Kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Melihat ketentuan tersebut, maka upaya penutupan dan pembatasan kegiatan masyarakat adalah salah satu ciri kekarantinaan kesehatan. Namun, jika dilihat ketentuan undang-undang tersebut, lockdown dilakukan dalam keadaan kedarurat kesehatan masyarakat. Sehingga, langkah pemerintah sedikit membingungkan, karena sampai hari ini pemerintah tidak melakukan perubahan status bencana nasional menjadi keadaan darurat nasional sesuai instruksi WHO.

Padahal, berdasarkan ciri yang disebutkan undang-undang, keadaan telah memenuhi keadaan darurat dan disadari atau tidak sebenarnya pemerintah mengakui hal tersebut, tercermin dari berbagai langkah yang diambil.

Darurat Nasional?

Jika merujuk dari ketentuan UU Karantina Kesehatan, pemerintah sudah diperintahkan menentukan status keadaan darurat dan melakukan karantina (lockdown), karena undang-undang tersebut bersifat mandatory (wajib/perintah). Namun, instrumen tersebut diabaikan, hanya diikuti beberapa pasal, antaranya kewenangan pemerintah pusat menetapkan karantina dan menerapkan pembatasan kegiatan sosial. Sehingga memberikan kesan pemerintah melepas tanggungjawab, hanya memilih pasal yang menguntungkan dan dimungkinkan untuk diterapkan.

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Kebencanaan), maka juga sudah saatnya pemerintah menentukan keadaan darurat, karena terdapat dua indikator yang sudah terpenuhi. Pertama, Covid-19 sudah mengarah pada terjadinya bencana yang ditandai dengan adanya informasi peningkatan ancaman berdasarkan sistem peringatan dini yang diberlakukan dan pertimbangan dampak yang akan terjadi di masyarakat. Kedua, Covid-19 telah mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat.

UU Karantina Kesehatan juga telah menyebutkan ciri keadaan darurat yang menyatakan kedaruratan kesehatan masyarakat diartikan sebagai kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Mencermati pergerakan Covid-19 yang terus menebar ancaman dan menelan korban, hukum telah menyebutkan dengan jelas sebagai ciri keadaan darurat, sehingga harus diartikan sebagai perintah perubahan status bencana nasional menjadi status darurat nasional.

Di samping itu, tenaga medis (dokter) telah memberikan imbauan kepada pemerintah. Dokter, tentu lebih paham seluk beluk ataupun pergerakan Covid-19 ketimbang para “politisi” yang lebih lihai soal proyek mercusuar. Wabah tidak bisa diajak berkompromi. Apalagi Covid-19 adalah pandemi. Pertimbangan medis (epidemologis) adalah yang utama dan mutlak.

Dewan Guru Besar FKUI telah mengirim surat imbauan kepada presiden, yang diantaranya mempertimbangkan opsi lockdown lokal/parsial oleh pemerintah Indonesia, dengan melihat upaya social distancing belum konsisten diterapkan di masyarakat dan tidak cukup untuk mengontrol penyebaran infeksi, sehingga yang dibutuhkan ialah tindakan pembatasan yang lebih lanjut.

Ciri-Ciri Lockdown

Penetapan status keadaan darurat dalam menghadapi Covid-19, akan mempertegas kewajiban pemerintah melakukan lockdown (karantina wilayah) yang dilaksanakan berdasar UU Karantina Kesehatan, sehingga juga diiukuti oleh semua kewajiban hukum lainnya.

Berdasarkan UU Karantina Kesehatan, karantina dilakukan di pintu masuk dan wilayah. Keduanya dilakukan melalui kegiatan pengamatan penyakit dan faktor risiiko kesehatan masyarakat terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan, serta respons terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat dalam bentuk tindakan kekarantinaan kesehatan.

Karantina di pintu masuk diselenggarakan di pelabuhan, bandar udara, dan pos lintas batas darat negara. Sedangkan, kekarantinaan kesehatan di wilayah diselenggarakan di tempat atau lokasi yang diduga terjangkit penyakit menular dan/atau terpapar faktor risiko kesehatan masyarakat yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Tempat atau lokasi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di wilayah dapat berupa rumah, area, dan rumah sakit.

Sejauh ini pemerintah tetap bersikukuh mengakui “social disatancing”. UU Karantina Kesehatan mengatur pembatasan sosial berskala besar masyarakat yang meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Artinya ketentuan dalam UU Karantina Kesehatan telah diterapkan, hanya soal kewajiban pemerintah memenuhi hak setiap orang yang belum dipenuhi.

Hak dan Kewajiban

Dengan pembatasan berbagai aktivitas dalam lockdown, memberikan konsekuensi terhadap tanggung jawab negara untuk memenuhi hak asasi manusia. UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi, telah menjamin hak asasi manusia dalam melangsungkan kehidupan, pekerjaan, upah yang layak dan hak-hak lainnya. Lockdown, tentu berdampak besar terhadap masyarakat miskin dan pekerja informal, maka negara harus bertanggungjawab untuk melindungi warga negara. Akibatnya, pemerintah harus memenuhi semua kebutuhan dasar orang, makan, minum, dan kebutuhan lainnya.

UU Karantina Kesehatan kemudian menegaskan, “setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.” Disebutkan pula hak setiap orang mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina. Tidak hanya itu, undang-undang ini juga memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan makanan hewan ternak.

Dalam penyelenggaraan karantina, selain pemenuhan hak, setiap orang memiliki kewajiban untuk mematuhi ketentuan penyelenggaraan karantina. Apabila dilanggar, dikenakan sanksi sanksi administratif dan sanksi pidana, yaitu terhadap nahkoda, kapten penerbang, pengemudi kendaraan dan setiap orang atau korporasi. Dengan demikian, setelah setiap orang dipenuhi haknya, maka juga memiliki kewajiban mematuhi segala ketentuan kekarantinaan kesehatan, pun pemerintah tidak sepatutnya menuntut kewajiban dan mengenakan sanksi sebelum memenuhi hak setiap orang.

Beberapa hari terakhir juga berkembang beberapa daerah telah mengambil inisiatif untuk melakukan lockdown. Berdasar UU Karantina Kesehatan, lockdown merupakan keputusan pemerintah pusat dengan pelibatan pemerintah daerah, maka dari itu pula dalam pemenuhan hak setiap orang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Namun, dengan keputusan kepala daerah, kembali memberi kesan bahwa pemerintah pusat lari dari tanggung jawab.

Di samping itu, perkembangan terkahir pemerintah menyatakan akan memberlakukan darurat sipil sebagai opsi terakhir. Hal demikian jelas keliru, karena memperkokoh aspek “birokratis” dan “militeristik” ketimbang “epidemiologis”. Ketetentuan UU Kebencanaan dan UU Karantina sangat jelas menunjuk pada keadaan darurat (state of emergency) yang sesuai dengan ktiteria Covid-19.

Potensi kekacauan dalam penerapan lockdown tidaklah bisa dipungkiri, namun tidaklah tepat apabila mengambil langkah darurat sipil. Justru akan lebih mengarah pada state security daripada human security. Pemerintah menumpuk kekuasaan untuk bertindak represif yang menunjukan pemerintah telah gagal dalam distribusi keadailan.  Sehingga, langkah tersebut juga kembali mempertegas kesan mengakali hukum agar pemerintah lari dari tanggung jawabnya.

Mengingat pergerakan pandemi Covid-19 terus meluas dan mengincar semua nyawa warga negara, maka tentu mengarah pada keadaan darurat bencana. Kita membutuhkan cara-cara luar biasa dengan berhukum melampaui kecepatan pandemi, telah ada amanat UU Kebencanaan dan UU Karantina Kesehatan yang harus dipatuhi. Presiden harus melaksanakannya dan cukup memperkuat dengan mengeluarkan ketentuan bersamaan dengan perubahan status menjadi keadaan darurat nasional, lockdown, pelibatan berbagai elemen termasuk polisi dan militer dan hal-hal lain yang perlu dalam mengatasi pandemi Covid-19.