KORANNTB.com – Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang dibangun pada bulan Maret 2009. Proyek ini didanai APBN dan APLN menghabiskan anggaran Rp 296,3 miliar. Pembangkit listrik ini mulai beroperasi pada tahun 2010.

Pemerintah menghajatkan pembangunan PLTU ini untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Lombok yang saat itu mengalami defisit luar biasa.

Lombok Global Institute (Logis) NTB melaporkan temuan kejanggalan pada pengelolaan PLTU tersebut. Kejanggalan itu dilaporkan ke Polda NTB pada Selasa, 2 Juni 2020.

“Laporan yang LOGIS sampaikan ke POLDA NTB didasarkan atas beberapa riset dan kajian lapangan yang dilakukan cukup lama. LOGIS menemukan beberapa kejanggalan dalam pengelolaan dan operasional PLTU ini. Kami menduga ada potensi kerugian negara dalam pengelolaannya karena melanggar asas efisiensi anggaran,” ungkap Direktur Lombok Global Institute (Logis) M. Fihiruddin,usai membawa berkas laporan ke Polda NTB, di Mataram.

Fihir mengatakan laporan yang diterima Ditreskrimsus POLDA NTB berkaitan dengan komitmen LOGIS untuk mendorong menciptakan penyelengaraan pemerintahan yang baik, satu di antaranya yakni menerapkan asas akuntabilitas keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan dan efisien. Sehingga imbuhnya dapat meminimalisasi potensi kerugian negara di setiap program  pembangunan pemerintah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

“Hasil investigasi lapangan LOGIS menemukan kejanggalan dalam operasional pembangkit listrik ini. Termasuk dugaan kegagalan konstruksi fasilitas pendukung operasional pembangkit listrik ratusan miliar ini,” tukasnya.

Temuan LOGIS kata Fihir, sejak pertama kali operasional, proses bongkar muat batu bara untuk bahan bakar tidak dilakukan di dermaga milik PLTU tersebut. Melainkan dilakukan di pelabuhan barang penumpang Lembar.

“Informasi yang kami dapatkan, dermaga yang dibangun di dalam kawasan PLTU ini tidak bisa difungsikan karena diduga tidak layak untuk tempat bersandarnya tongkang pengangkut batu bara. Dugaan kami, kegagalan konstruksi berkaitan dengan lemahnya perencanaan dan eksekusi proyek. Hasilnya, miliaran rupiah uang negara yang digunakan untuk pembangunan dermaga tidak bermanfaat. Hingga sekarang dermaga yang dibangun itu tidak bisa difungsikan sesuai peruntukkannya,” terangnya.

Dilanjutkan Fihiruddin dampak itu membuat negara harus mengeluarkan dana dalam mengangkut batu bara dari Pelabuhan Lembar ke lokasi PLTU.

“Jika dihitung dari operasional pertama pembangkit hingga tahun 2020 sekarang, kondisi ini sudah berlangsung 10 tahun. Hasil investigasi lembaga kami berikutnya, perusahaan negara ini diduga telah menghabiskan uang ratusan miliar hanya untuk biaya angkut tersebut. Setiap minggunya dari tahun 2010 itu, sebanyak 7.000 ton batu bara masuk untuk memasok bahan bakar PLTU ini. Pengangkutan batu bara dari Pelabuhan Lembar diserahkan ke pihak ketiga dengan biaya angkut sekitar Rp 130.000 per truk,” paparnya.

Ia menjelaskan diperlukan 1. 250 truk setiap minggunya untuk memindahkan batu bara ini. Jika dihitung, negara perlu sekitar Rp 1,6 miliar rupiah “hanya” untuk biaya angkut ini. Itu artinya, perlu uang Rp 6,4 miliar setiap bulannya dan Rp 76,8 miliar tiap tahunnya.

“Jika kami asumsikan sejak pertama operasional, tak kurang Rp 600 miliar dihabiskan untuk biaya “pindahan” bartu bara ini. Berikutnya yang jadi pertanyaan, di mana letak semangat penghematan anggaran dalam pengelolaan PLTU milik negara ini. Sebab, PLTU ini dibangun untuk mengurangi penggunaan solar di beberapa pembangkit listrik milik PLN karena dianggap tak efisien dan merugi,” imbuhnya lagi.

Menurutnya jika “pindahan” batu bara ini dilakukan karena dermaga milik PLTU itu tak bisa digunakan, biaya pindahan yang dihabiskan selama ini sangat cukup untuk membangun kembali dermaga yang megah.

“Kami melihat ada pembiaran yang dilakukan manajemen PLTU dalam hal ini. Kondisi ini dipertahankan bertahun tahun dan masih akan dilakukan karena dermaga milik PLTU itu belum juga diperbarui kembali. Apa karena PLTU ini jauh dari pusat kekuasaan dan jauh dari pengamatan publik sehingga kondisi ini terus dipertahankan. Kondisi ini belum mencakup dampak lain yang ditimbulkan dari proses “pindahan” batu bara ini,” tandasnya.

“Temuan lain yang kami dapatkan dari hasil investigasi, sejak tiga atau empat tahun terakhir, salah satu turbin milik PLTU ini tidak lagi beroperasi karena kerusakan. Pertanyaan berikutnya yang muncul berkaitan dengan kualitas turbin pembangkit listrik milik PLTU ini. Idealnya, turbin pembangkit listrik dikondisikan dapat beroperasi maksimal belasan atau puluhan tahun,” cetusnya.

Fihir menambahkan dari sejumlah informasi yang lembaganya dapatkan, kerusakan turbin itu karena ada beberapa bagian mesin yang harus diganti dan hanya ada di luar negeri. Infonya, pemerintah belum memberikan anggaran untuk pengadaannya.

“Namun, untuk mengatasi kerusakan ini manajemen PLTU menyewa sejumlah mesin pembangkit berbahan bakar solar. Lantas, pertanyaannya, anggaran dari mana yang digunakan untuk menyewa dan membeli solar untuk mesin listrik sewa ini. Yang jelas, biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Keputusan  menyewa mesin ini jelas tidak sejalan dengan argumen tidak adanya anggaran perbaikan turbin batu bara yang rusak tersebut,” katanya. (red)