KORANNTB.com – Kisah sedih Gusti Ayu Arianti (23) yang menanti rapid test hingga harus kehilangan bayinya diluapkan sang ayah.

Ketut Mahajaya, ayah Gusti Ayu menceritakan anaknya datang pada pagi Selasa, 18 Agustus 2020 di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Mataram. Ia datang dalam kondisi ingin melahirkan, namun karena prosedur di sana harus melakukan rapid test terlebih dahulu, dan di RSAD tidak memiliki rapid test, sehingga Gusti Ayu dan suaminya pergi melakukan rapid test di Puskesmas Pagesangan.

Tiba di Puskesmas, Ayu merasakan sakit pada perutnya dan akan segera melahirkan. Namun jawaban dari pihak Puskesmas meminta agar dia menunggu hasil rapid test terlebih dahulu.

“Anak saya dari sekitar jam 8 pagi tunggu hasil rapid test di Puskesmas. Namun baru keluar hasilnya sekitar jam 13.00 siang,” ujarnya ditemui di kediamannya Lingkungan Pajang Barat, Kota Mataram, Kamis, 20 Agustus 2020.

Suami Ayu, Yudi Prasetia mengatakan di Puskesmas istrinya hendak melahirkan, namun perawat tidak berani menangani pasien sebelum hasil rapid test keluar.

“Kata petugas Puskesmas ‘tenang saja, tidak mungkin air ketuban habis’ itu katanya ke saya,” ujar Yudi.

Setelah rapid test keluar dengan hasil non reaktif, ia segera melarikan istrinya di Rumah Sakit Permata Hati Mataram yang tidak jauh dari Puskemas tersebut.

Kakek korban, Ketut Mahajaya mengatakan setiba anaknya di rumah sakit, namun justru hasil rapid test di Puskesmas yang ditunggu sekian lama tidak diterima. Bahkan anaknya harus rapid test ulang di Rumah Sakit Permata Hati.

“Perlu dipertanyakan rapid test mana yang sah agar kami masyarakat tahu. Mengapa hasil rapid test ditolak dan harus rapid ulang di Permata Hati? Sehingga saya anggap telat ditangani sampai sang bayi kami duga keracunan air ketuban,” ungkapnya.

Ia juga mempertanyakan profesionalitas seorang perawat melihat pasien yang kesakitan di depan matanya, namun diabaikan lantaran harus melalui prosedur rapid test.u

“Bagaimana sikap profesionalisme seorang perawat melihat pasien di depan matanya sampai minta tolong untuk ditangani karena kondisinya yang sangat emergency tapi ditolak,” katanya.

“Bahkan mau istirahat di ruang bersalin saja tidak boleh dan disuruh duduk di luar. Sementara pasien sudah mengeluarkan darah dan merasa pecah air ketubannya. Saya sangat kecewa dengan sikap perawat yang seperti ini. Tidak memiliki jiwa kamanusiaan namanya,” katanya.

Pakar Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram, Syamsul Hidayat, mengatakan meninggalnya bayi akibat sang ibu harus menunggu rapid test terlebih dahulu adalah kecerobohan fatal dan tidak menunjukkan profesionalitas rumah sakit.

“Ini menunjukkan pihak rumah sakit  masih jauh dari profesional dalam menangani pasien dalam kondisi darurat, pihak rumah sakit harusnya segera memberikan pelayanan kesehatan berupa tindakan medis terhadap ibu yang akan melahirkan demi menyelamatkan bayi dalam kandungannya maupun ibunya karena ibu yang akan melahirkan termasuk kategori darurat,” ujarnya.

“Dalam kasus ibu melahirkan bisa diberikan tindakan medis tanpa rapid test karena kebetulan rapid tesnya juga tidak tesedia di rumah sakit tersebut. Sikap pihak rumah sakit tidak sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, yang salah satu poinnya menegaskan rapid test atau tes cepat tidak direkomendasikan lagi untuk mendiagnosa orang yang terinfeksi Covid-19,” ungkapnya.

Syamsul mengatakan sikap pihak rumah sakit yang tidak memberikan pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat sudah termasuk tindakan malpraktek karena bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 32  UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Baca Juga: RSIA Permata Hati Bantah Rapid Test Ulang Ibu Hamil

Selain itu katanya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Untuk pihak Rumah Sakit yang tidak segera menolong pasien yang sedang dalam keadaan gawat darurat, berdasarkan ketentuan pidana pada Pasal 190 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp200 juta.

“Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar rupiah,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan NTB, Nurhandini Eka Dewi, dihubungi mengatakan akan terlebih dahulu merunut data pasien tersebut. “Sedang dirunut datanya,” katanya. (red)