Penulis: Satria Madisa
_ Aktivis Mahasiswa

KORANNTB.com – 92 persen calon-calon Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibiayai para cukong kata Prof Mahfud MD, Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam). Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu, pendanaan para cukong dalam pilkada melahirkan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yang merumuskan kebijakan sesuai pesanan dan kepentingan para cukong. Dalam ilmu biologi ini disebut simbiosis mutualisme (hubungan saling menguntungkan).

Itulah subtansi penyampaian Mahfud MD dalam Webinar, Jumat 11 September 2020 sebagaimana penulis cerna di media Kumparan dan Okezone. Dalam kesempatan itu juga Mahfud berkisah: KPK, KPU, Kemendagri, MK, dan Kemenko Polhukam pada tahun 2012 pernah berdiskusi. Dalam catatanya ada 12 kelemahan Pilkada Langsung seperti: pemalsuan surat-surat, teror terhadap pemilih, penyalahgunaan jabatan, suap oleh cukong, suap antar pejabat, suap para calon terhadap pemilih (politik uang). Dalam kesempatan yang sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuturkan 82 persen calon pilkada didanai sponsor. Siapa sponsor ini? Menurut penulis para cukong seperti yang disampaikan Mahfud MD.

Kebijakan pesanan yang sesuai kepentingan para cukong melahirkan korupsi kebijakan. Korupsi kebijakan, dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, penguasaan tambang lebih berbahaya dibanding korupsi uang. Korupsi uang bisa dihitung. “Sudah saya periksa itu tumpang tindih. Misalkan seorang bupati boleh memberi lisensi eksplorasi tambah untuk sekian persen luas daerahnya,” tegas Mahfud MD.

Menggelitik, data KPK yang melaporkan sejak era pilkada langsung (2005), sebayak 300 orang kepala daerah terjerat kasus korupsi. 124 Diantaranya ditangani KPK, sebagaimana di sampaikan Ketua KPK, Firli Bahuri dalam siaran pers, Jumat (7/8/2020) (Lihat: Kompas.Com). Suap dan Gratifikasi menurut KPK mendominasi dari data-data tersangka korupsi kepala daerah tersebut (Katadata.com).

Membaca secara seksama, mencerna dalam-dalam penuturan Menko Polhukam dan data KPK diatas, mengisyaratkan negara sudah sangat ‘risau’ dengan dampak pilkada langsung. Apalagi pilkada langsung ‘serentak’ ini. Penulis tentu saja tidak kaget, mengingat pertumbuhan korupsi dilevel kepala daerah sudah sangat menghawatirkan. Media massa kadangkala terlalu ‘arogan’ membeberkan sajian-sajian para kepala daerah yang tersandung korupsi yang benar-benar mendidik untuk masyarakat dan anak-anak bangsa

Cukong mendompleng reformasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan dua devinisi ‘cukong’. Pertama, orang yang mempunyai uang banyak yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha atau kegiatan orang lain. Kedua pemilik modal. Wikipedia mendevinisikan cukong: pengusaha yang memiliki perusahaan besar. Dalam konteks ini, cukong menurut penulis iyalah: oligarki, coorporasi dan kontraktor. Merekalah yang mendanai para calon, baik pilpres, pileg, pilkada hingga pilkades untuk menguasai lahan-lahan ‘subur’ yang dimiliki negara.

Teorinya sederhana: pegang ‘pemimpinnya’ kuasai lahan suburnya. Habisi rakyatnya bila diperlukan. Teori ini dulu dipraktikan kolonialisme Belanda untuk menggeruk kekayaan bangsa-bangsa dan memastikan praktiknya terjaga. Acapkali investasi dalih-dalih pemerintah dengan mengobral kemakmuran palsu, untuk membuka dan memuaskan keserakahan para cukong.

Setelah reformasi 1998 terjadi migrasi (perpindahan) besar-besaran cukong pusat ke daerah. Cukong itu kemudian berjumpa dengan realitas, feodalisme dan dinasti politik peninggalan ‘sejarah’ didaerah. Feodalisme memang masih membekas, reformasi bergulir mereka bangkit.

Bila direzim Soeharto KKN tersentral di Pulau Jawa (Pusat). Rezim reformasi KKN sudah merata di daerah-daerah. Cukong pusat telah melakukan ‘migrasi’ besar-besaran ke daerah-daerah. KKN dalam konsep ini semacam ikut kena getah ‘desentralisasi’. Daerah seolah-olah memiliki hak mengatur KKN di daerahnya sendiri. Buruknya, daerah berlomba-lomba korup dengan pemerintah pusat. Data KPK sejak 2004 sampai dengan 2019 menyebutkan: Ada 359 kasus korupsi di tingkat pemerintah pusat, (Tribunnews.com).

Alhasil, pemiskinan dan penindasan politik struktural mewarnai kehidupan daerah. Ini sangat ironis dengan ‘gambar besar’ atau semangat ontonomi daerah. Kadangkala pemerintah yang dikendalikan cukong mematikan kemanusiaan, membunuh kehidupan. Kriminalisasi terhadap penggiat HAM, masyarakat sipil, aktivis lingkungan, jurnalis, pers, lebih-lebih rakyat marak terjadi manakala bersentuhan langsung dengan ‘aktivitas’ para cukong.

Kata Rocky Gerung (Pengamat Politik), Politik selalu memiliki dua panggung. Panggung depan dan panggung belakang. Panggung belakang inilah ruang para cukong, bermain judi. Sementara panggung depan, laksana pasar. Apapun suasana dan ritme pasar, dikonsepkan dipanggung belakang.

Lalu bagaimana dengan pesta rakyat?

Penulis tidak perlu risau, saat pernyataan seperti itu keluar dari mulut tukang bakso, petani jagung di kampung-kampung, warga yang kini masih digusur. Apalagi muncul dari seorang buzzer rezim. Masalahnya, ini pernyataan keluar dari mulut pimpinan lembaga negara, mewakili negara yang memahami medan, menguasai data, dan seharusnya mengkonfirmasi negara untuk melawan praktik-praktik ini. Negara tidak boleh kalah melawan cukong. Sayang sekali, negara rela menampar dirinya sendiri. Negara bisa apa?

“Pancasila yang digembor-gemborkan itu tak lebih slogan hampa makna lagi asing. Konsepsi, nalar dan perilaku politik kita camplok dari kapitalisme-liberal yang katanya tidak sesuai pancasila itu.”

92 persen Pilkada didanai cukong artinya 92 persen kepala daerah terpilih karena pesta para cukong. Tersisa 8 persen kepala daerah yang bebas dari pendanaan cukong, yang benar-benar terpilih karena pesta (kehendak) autentik rakyat, itu nyala tanda bahaya yang membahayakan demokrasi. Meminjam penuturan Mahfud MD, kita dapat berspekulasi bahwa mayoritas kepala daerah kita pro cukong (oligarki, kontraktor dan coorporasi). Wajar saja Indeks Demokrasi kita menurun lima tahun terakhir.

Menko Polhukam memang tidak merincikan 92 persen pilkada dibiayai cukong itu kapan. Namun kita bisa menguji dengan logika yang paling sederhana. Bila kita asumsikan 92 persen pilkada yang didanai para cukong itu akan berlangsung di Pilkada Serentak 9 Desember 2020, maka sebagian besar tubuh NKRI ini akan dikendalikan kepala daerah ‘boneka’. Namun, bila asumsinya 92 persen pilkada didanai cukong itu terjadi sebelum pilkada 9 Desember maka sekarang tubuh NKRI diisi pemimpin boneka. Wajar Indeks Demokrasi dan kesejahteraan rakyat anjlok. Dan para kepala daerah kita pro cukong.

Hasilnya demokrasi partisipatif dan responsif yang diidamkan Prof Mahfud dalam bukunya “Politik Hukum Demokrasi” mustahil diwujudkan.

Negara seharusnya malu mengungkap ini. Itu mengkonfirmasi kegagalan negara menjalankan tugas konstitusional. Ada dua alasan menurut penulis. Pertama negara telah mengucurkan puluhan triliun rupiah untuk mendanai Pilkada yang hasilnya ditentukan aliran uang para cukong. Kedua, negara telah mendistorsi konsep demokrasi dalam kampanye ‘pesta rakyat’ karena tidak mampu mengendalikan sistem. Tidak ada keadilan bagi seluruh rakyat bila seluruh proses-proses politik kita ditentukan oleh para cukong.

Ironisnya, negara ikut memastikan demokrasi pancasila dipasung dan terkubur bersama kepongahan. Cukong dibuatkan jalan tol untuk mengendalikan hajat hidup warga negara. KPU, Bawaslu (penyelenggara) TNI dan Polri (pengaman) tidak berdaya melawan pola permainan cukong. Negara hanya mengeluarkan puluhan triliunan rupiah untuk pesta para cukong.

Di sisi lain negara tidak bisa membersihkan partai politik dari praktik-praktik politik tanpa mahar. Demikian proses politik parpol yang mengabaikan kaderisasi politik. Belum lagi politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan. Siapa yang tidak tahu ‘mahar’ politik untuk Partai Politik (Parpol) itu jumlahnya banyak sekali. Hingga para calon, tanpa cukong terpenta tidak bisa dapat parpol junto tak bisa melakukan politik transaksional.

Fenomena lawan kotak kosong, dan para pengusaha (bukan kader politik) tiba-tiba jadi kader politik dalam perilaku (sosiologi) politik kita bukti akurat cukong itu mengendalikan proses-proses politik. Apalagi cukong lokal terkoneksi denga cukong nasional hingga asing. Demikian, cukong asing, terkoneksi dengan cukong nasional hingga lokal. Akhirnya rayat memililih Gubernur, Bupati, Walikota dan Presiden Boneka.

Benar adanya rakyat yang kelihatan memilih (kedaulatan rakyat). Namun cara rakyat nemilih ditentukan cukong. Kedudukan rakyat itu hanya sebagai buruh politik. Uang, sembako, piring, periuk permen diobral diruang-ruang publik. Sedangkan teror, suap, penyalahgunaan jabatan, merongrong diruang tersembunyi.
Hal itu yang secara subtantif menegaskan, cukong berdaulat menentukan hasil akhir dari Pilkada. “Cukong inilah yang berpesta, bukan rakyat.”

Lisensi penguasaan lahan dan tambang karena kehendak cukong (mendanai pilkada) artinya penggusuran kehidupan warga negara, junto operasi peretakan lingkungan secara terorganisir, sistematis dan masif. Muara dari itu mengarah pada korupsi kebijakan. Pemiskinan sampai operasi membantai rakyat sendiri terjadi, baik secara vulgar maupun teror psikologis. Kepala daerah bisa apa, melawan para cukong yang mendanai proses-proses pilkada hingga dimenangkan?

Wajar saja, operasi penggusuran kehidupan warga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima, oleh PT. Sanggar Agro Karya Persada masih terus berlanjut. Gubernur dan Bupati tidak berdaya. Baik dengan rakyatnya, lebih-lebih pihak perusahaan yang menguasai dua HGU yang menguasai ribuan tanah sejak 1996 itu. “Setelah 6 tahun berjuang justru, masyarakat Sanggar dan Tambora semakin memperpelik keadaan. Inilah bukti, pemerintah kita lemah tak berdaya dihadap perusahaan itu.”

Wajar saja saat rakyat berhadapan dengan cukong selalu saja alat negara diterjunkan untuk mengamankan. Bahkan terlibat sampai jauh meneror, menganiaya, menembak, dan membunuh rakyat karena dituduh mengusik kepentingan para cukong.

Bagaimana dengan Pilkada serentak 2020?

Pilkada serentak, 9 Desember 2020 (pilkada para cukong) merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan sejak diberlakukan. 270 daerah akan melaksanakan pilkada, dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Di NTB, pilkada serentak akan diikuti, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa, Sumbawa Barat dan Kabupaten Bima. Pilkada serentak bisa jadi serentak didanai cukung: serentak korupsi, serentak mematikan kemanusiaan dan serentak menghilangkan kehidupan rakyat dan lingkungan. Baik dengan lisensi lahan dan tambang juga investasi ‘basah’ lainnya.

Pesta yang kelihatan pesta rakyat ini, akan digelar bersamaan dengan huru-hara pendemik covid 19 yang tak kunjung usai. Ditengah paradoks kebijakan pemerintah, keterpurukan dan resesi (kebangkrutan) ekonomi dan kenestapan lingkungan. Masyarakat kita sedang terjebak ‘prahara’. Dalam situasi ini cukong akan lebih leluasa dan memiliki lahan garap basah. Sebelum pendemik saja, cukong mengatur siapa-siapa pemenang, apalagi ditengah pendemik (logika cuaca).

Wajar saja Pilkada kabupaten Bima dirangkaikan dengan dagelan__periuk, panci, amplop hingga permen. Memanfaatkan keterpurukan ekonomi. Wajar saja skenario laten perampokan petani melalui penjualan pupuk subsidi di atas HET yang diapit pejualan paket, selama lima tahun patut lanjut terus. Diduga karena kepemimpinan ini didanai cukong (baca: mafia pupuk).

Di Kabupaten Bima, saya gak bisa bayangkan, sehangus apa kehidupan masyarakat Sanggar dan Tambora bila cukong-cukong itu mendanai para calon-calon pilkada untuk memastikan lisensi penguasaan lahan terus terjaga. Sederhannya seluruh sektor yang berkaitan hajat hidup rakyat terabaikan. Lingkaran  itu akan semakin kukuh, dengan pondasi penderitaan, kesengsaraan, keringat, darah dan nyawa rakyat.

Sekarang kita bertanya pada diri kita sendiri, sampai kapan kita memilih jadi bandit dengan menghamba pada kepentingan cukong. Susahkah kita menggunakan otak dan nurani untuk menimbang-nimbang dalam memutuskan pilihan. Susahkah kita tidak membiarkan tangan kita memilih ‘calon boneka’ dalam setiap rangkaian pilkada. Civil society tidak boleh bungkam, harus terjun bak lentera, menerangi alam politik kita yang gelap dan berbahaya ini.

Keterpelajaran jangan bersembunyi terus-menerus. Keterpelajaran yang kita raih dari pembiayaan ibu bapak kita yang petani, nelayan, buruh, guru dan pekerjaan halal__terhormat lainnya tidak boleh dilacurkan untuk membuhuh oran tua kita sendiri. Terpelajar terlarang menghamba pada tirani. Terjunlah! edukasi masyarakat sebaik-baiknya. Kita berhak ‘merdeka’ memilih pemimpin yang autentik, berotak dan bervisi besar. Di masa depan, anak-anak bangsa berhak tumbuh dilingkungan yang sejuk, humanis, dan beradab. Tidak anti kemanusiaan, anti sains dan doyan mengubur kehidupan dalam deru mesin-mesin. Sebagaimana hari-hari lalu dan kini. Ini harus dihentikan!

Selebihnya, tetap saja kualitas rakyatlah yang menentukan kualitas pemimpin. Rakyat tidak boleh terlena dengan angka yang sesaat timbul tenggelam itu. Selain dari itu, semoga saja Prof Mahfud MD (Menko Polhukam) itu sedang bercanda. Tidak benar 92 persen pilkada ditentukan pesta cukong itu. (red)

Kota Bima, 12 September 2020