KORANNTB.com – Pembudidayaan Maggot sebagai solusi sampah organik yang kini dikembangkan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Regional Lingsar, Lombok Barat, masih memiliki banyak kendala.

Padahal, keberadaan TPST Regional yang pengelolaanya berada di bawah UPT TPA Regional Kebon Kongok milik Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) Provinsi NTB, justru sangat vital dalam menyukseskan program unggulan Pemprov, yakni NTB Zero Waste.

Namun sayangnya, Maggot yang dipandang sebagai solusi paling potensial untuk mengurangi beban sampah pembuangan hasil di TPA Kebon Kongok, tak ditopang oleh kebutuhan sampah yang memadai.

Koordinator Kegiatan Pengolahan Sampah Terpadu TPST Regional Lingsar, Indra membenarkan manakala kebutuhan 48 reaktor sebagai tempat mengembangkan Maggot di lokasinya sangat kurang dari kebutuhan ideal sampah yang seharusnya berkisar 1,2 ton per harinya. Sampah yang datang justru hanya 50 kilogram per hari.

“Pasokan sampah yang kita peroleh sejak dua tahun program ini berjalan hanya berkisar 50 kilogram per harinya. Ini jelas jauh dari kapasitas ideal reaktor yang ada saat ini,” ujarnya, Selasa, 16 Februari 2021.

Indra menyoroti komitmen dari program zero waste. Kapasitas pengembangan pengolahan sampah organik dapur dengan teknologi biokonversi Black Soldier Flies (BSF) atau dikenal dengan nama Lalat Tentara Hitam, Manggot di TPST Regional Lingsar, sejatinya sudah siap memproduksi sampah-sampah rumah tangga tersebut.

Hanya saja, sumber produksi sampah yang diterima rutin dari pasar di Mataram (Mandalika, Bertais), rumah sakit (RSUP NTB) dan Pondok Pesantren Nurul Haramain, Narmada terbatas jumlahnya.

Begitupun, limbah hotel yang diterima baru ada lima hotel yang rutin memberikan pasokannya. Di antaranya, Lombok Garden, Aston Hotel, Lombok Raya dan Puri Indah.

“Untuk hotel lainnya belum. Termasuk hotel-hotel di Lombok Barat juga belum. Padahal, limbah berupa makanan, buah-buahan, pepaya dan daging yang sudah dipilah menjadi sampah organik itu sangat kita butuhkan untuk kita konversikan menjadi protein dalam bentuk pupa dari Black Soldier Flies,” jelasnya.

“Pupa ini akan bisa kita gunakan selanjutnya untuk pakan ternak, unggas maupun ikan. Di samping, kita bisa memanfaatkan kemampuan dari Black Soldier Flies ini untuk menguraikan sampah dalam waktu yang relatif cepat. Itu bisa kita habiskan sampahnya dalam waktu 1 hari jika jumlah kapasitas ideal sampah terpenuhi,” sambung Indra.

Indra mengatakan, luas total areal lahan di TPST Lingsar mencapai 1,4 hektare. Sedangkan, jumlah SDM pengelolanya hanya 11 orang. Di mana, sebanyak delapan orang bertugas sebagai tenaga pengelola BSF, dan tiga orang lainnya bertugas menjadi tenaga pengangkutan sampah.

Pekerjaan mereka rentan terhadap penyakit, lantaran limbah dari proses penguraian sampah sangat berbahaya bagi kesehatan. Namun status kepegawaiannya masih merupakan tenaga kontrak.

“Iya mas apa kita mau bilang apa karena memang ini, pekerjaan kami yang selalu berurusan dengan bau dan limbah ya kita jalani saja. Kadang juga sedih karena kami hanya terima honor perbulan dan hanya mendapatkan BPJS Kesehatan,” ungkap Indra.

Ia mengungkapkan, awalnya 11 orang di TPST Lingsar bekerja di TPA Regional Kebon Kongok. Namun, sejak Program NTB Zero Waste diluncurkan, mereka bekerja mengelola program yang di dalamnya ada Maggot yang butuh ekstra penanganan.

Apalagi, sampah yang dipasok juga butuh pengangkutan dan dipilah-pilah dahulu dari sumbernya.

“Memang ini, pekerjaan berat dan butuh ekstra tapi kami menikmati pekerjaan ini. Tapi jujur, kita juga kadang sering jengkel mas. Sebab, ya kendala pasokan sampah yang tidak kontinyu dan konsisten dalam jumlah yang ditentukan yakni 1,2 ton,” ujarnya.

“Terkecuali, pada  periode tertentu saja, yakni Oktober hingga Desember 2020 baru ada sampah mendekati kapasitas. Ini yang membuat pekerjaan kami menjadi terhambat,” terang Indra.

Makna program zero waste, lanjut dia, merupakan program yang memfokuskan pemilihan sampah dari sumbernya. Namun karena, sosialisasi yang kelihatan hanya dilakukan oleh Pemprov NTB. Sementara, Pemda kabupaten/kota masih masih minim melakukannya menyebabkan terhambatnya program ini.

“Jadi, karena sampah yang kita peroleh tidak optimal, maka agar efektif lokasi ini, kita membuka pusat studi pelatihan pada masyarakat umum untuk mengelola sampah melalui budidaya Manggot,” ujarnya.

“Sehingga, bisa tertanam di benak masyarakat untuk kita bersama-sama mengurangi sampah organik di NTB ini dengan menggunakan Maggot Black Soldier Flies. Dengan demikian, sampah di NTB, khususnya di semua TPA yang ada akan bisa berkurang sangat signifikan,” tandas Indra.

Mengenal Maggot

Maggot adalah larva serangga Black Soldier Flies atau BSF yang dapat mengubah material organik menjadi biomassa. Lalat ini berbeda dari jenis biasa, karena larva yang dihasilkan tidak menjadi medium penyakit. Membutuhkan waktu 28 hari agar BSF menjadi Maggot, hingga menjadi pupa.

Sejak berbentuk telur lalat, Maggot membutuhkan sampah organik untuk tumbuh selama 28 hari sampai siap dipanen. Maggot memiliki kemampuan mengurai sampah organik 1, 3, sampai 5 kali dari bobot tubuhnya selama 24 jam. 1 kilogram Maggot disebut dapat menghabiskan 2 sampai 5 kilogram sampah organik per hari.

Selain itu, Manggot yang sudah menjadi prepupa maupun bangkai lalat BSF masih bisa dipakai sebagai pakan ternak karena kaya protein. Kepompongnya juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, sehingga tak menimbulkan sampah baru. Lewat budidaya Maggot, ada nilai ekonomis yang didapat, yakni Rp15 ribu sampai Rp30 ribu untuk 100 gram Maggot kering.

Sebelumnya, Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Madani Mukarom, menuturkan terjadi pengurangan angka Sampah Rumah Tangga (SRT) dan Sampah Sejenis Rumah Tangga (SSRT).

Katanya, sebelum program zero waste digencarkan, volume sampah yang ditangani dengan strategi pengurangan atau sampah yang diolah tanpa masuk ke TPA hanya 0,5 persen atau 12,8 ton saja. Angka ini meningkat 1.400 persen atau 14 kali lipat, menjadi 7,1 persen di tahun 2020.

Sejumlah program dari zero waste dinilai menjadi penyumbang penurunan angka SRT dan SSRT yang tidak masuk ke TPA, melainkan diolah menggunakan sejumlah program dari zero waste.

“Sejumlah program pengurangan SRT/SSRT di antaranya Bank Sampah, Lubang Biopori, Compos Bag, BSF (Black Soldier Fly) Mandiri, TPS3R, pengelolaan sampah mandiri, pengelolaan sampah skala lingkungan, hingga aktivitas di lembaga-lembaga pendidikan,” katanya.

Peningkatan volume sampah yang diolah di luar TPA justru berbanding terbalik dengan jumlah sampah yang diterima TPST Regional Lingsar yang hanya menerima 50 kilogram sampah per hari, dari kebutuhan 1,2 ton per harinya. Di sisi lain, jumlah sampah di TPA terus meningkat. (red)