KORANNTB.com – Kasus ibu rumah tangga (IRT) yang menjadi terdakwa akibat melempar spandek pabrik tembakau hingga penyok, memasuki sidang kedua di Pengadilan Negeri Praya, Lombok Tengah, Kamis, 25 Februari 2021.

Sidang tersebut beragendakan pembacaan nota keberatan atau eksepsi dari pengacara empat IRT, terhadap dakwaan jaksa.

Salah seorang pengacara IRT, Yan Mangandar Putra, mengatakan banyak kejanggalan dalam dakwaan yang dibacakan oleh jaksa maupun dalam BAP empat IRT tersebut.

Dalam berkas acara, terdapat tanda tangan pengacara empat IRT bernama Abdul Gani. Namun faktanya justru empat IRT tidak pernah didampingi pengacara selama diperiksa.

Nama pengacara Abdul Gani muncul di BAP tersangka, surat penunjukkan penasehat hukum advokat, surat kuasa khusus antara Advokat Abdul Gani dan para tersangka tanggal 25 Januari 2021.

“Namun, para tersangka dan keluarganya menyatakan selama pemeriksaan tidak pernah ada atau didampingi oleh pengacara,” kata Yan.

Padahal, empat IRT dijerat pasal 170 ayat (1) KUHP dengan ancaman maksimal lima tahun enam bulan penjara.

“Hal ini melanggar ketentuan pasal 56 ayat (1) jo Pasal 114 KUHAP yang mewajibkan pendampingan penasehat hukum bagi tersangka yang diancam hukum penjara lima tahun atau lebih,” ujarnya.

Kemudian, Yan Mangandar juga menyoroti jumlah kerugian pemilik pabrik pengolahan tembakau yang berjumlah Rp4,5 juta.

Disebut dalam dakwaan jaksa penuntut, kerugian akibat pelemparan dengan jumlah Rp4,5 juta. Padahal faktanya, spandek tersebut tidak rusak, melainkan hanya penyok. Harga spandek juga tidak seharga Rp4,5 juta.

Anehnya lagi, justru bukti utama spandek tidak dihadirkan oleh jaksa di persidangan.

“Dari dasar barang bukti tidak dibawa spandek yang rusak itu. Menurut kami tidak logis, spandek yang penyok seharga Rp4,5 juta,” ujarnya.

Kejanggalan lain, jaksa membawa tujuh batu dan satu bambu yang disebut digunakan empat IRT saat melakukan pelemparan spandek pabrik. Padahal dalam BAP, yang digunakan oleh empat IRT adalah bambu dan singkong.

“Singkong justru tidak dijadikan barang bukti. Entah bambu dari mana yang dibawa jaksa,” kata pengacara yang pernah membela Baiq Nuril dari jeratan UU ITE tersebut.

“Kami melihat ini suatu rangkaian dari proses penyidikan. Jika dilakukan dengan benar, maka rumusan dakwaan akan benar,” katanya.

Yan juga menyoroti jaksa mendakwa empat IRT dengan pasal 170 ayat (1), padahal pasal tersebut terkait dengan ketertiban umum.

“Sehingga tidak tepat kalau pabrik itu dikatakan sebagai fasilitas umum atau fasilitas negara. Seharusnya pakai pasal 406 ayat (1),” katanya.

Yan mengatakan seharusnya kasus tersebut masuk dalam tindak pidana ringan. Apalagi dampak yang dilakukan empat IRT hanya membuat penyok spandek. (red)

Foto: Suasana sidang empat IRT di Pengadilan Negeri Praya, Kamis, 25 Februari 2021