KORANNTB.com – Koalisi Anti Kekerasan Seksual Terhadap Anak di NTB, menyambangi Kejaksaan Negeri Mataram mempertanyakan proses terhadap kasus eks anggota DPRD NTB cabuli anak kandung, Kamis, 22 Maret 2021.

Koalisi tersebut merupakan gabungan dari Pancarkarsa, AMSI NTB, SANTAI, LARD, PBH Mangandar, RSA, PBH Kawal Keadilan, AJI Mataram, LBH APIK NTB dan FORMAPI.

Mereka mempertahankan sejauh mana proses hukum terhadap kasus yang menjerat eks dewan berinisil AA. Hingga saat ini, tersangka belum kunjung disidang.

Pihak Kejari Mataram diwakili Kasi Intel Heru Sandik, Kasi Pidum Pintono Hartoyo, dan Jaksa Kasubsi Pra Tuntutan Moch. Taufik Ismail, menemui para aktivis.

Jaksa mengklaim telah bekerja secara maksimal terhadap kasus tersebut. Hanya saja, berkas yang sempat diminta untuk diperbaiki, hingga saat ini belum kunjung diperbaiki oleh Polresta Mataram hingga waktu penyidikan telah habis.

Dijelaskan oleh jaksa, tanggal 26 Januari 2021 Kejaksaan menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Penyidik Polresta Mataram tertanggal 25 Januari 2021.

Tanggal 27 Januari 2021 Kejaksaan menerbitkan P-16 yaitu Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana.

“Kemudian, 5 Februari 2021, pihak Kejaksaan menerima pengiriman berkas perkara tahap pertama tertanggal 4 Februari 2021 lalu kemudian diteliti,” kata Kasi Pidum Pintono Hartoyo.

Pintono melanjutkan, pada 9 Februari 2021 pihak kejaksaan mengembalikan berkara perkara dengan menerbitkan P-18 terkait hasil penyelidikan masih belum lengkap seperti laporan sosial terhadap anak korban yang belum ada dan P-19 pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi dengan Jaksa memberikan beberapa petunjuk.

“Tanggal 25 Maret 2021 oleh karena berkas perkara tidak lama kembali lagi, akhirnya diterbikan P-20 yang memberitahukan bahwa waktu penyidikan telah habis,” ujarnya.

Selain itu pihak kejaksaan juga memastikan, bahwa tidak pernah memberikan petunjuk maupun menyetujui jika terhadap tersangka AA dapat dilakukan penangguhanan penahanan dan tidak pernah menyarankan dilakukannya restorative justice dalam kasus ini.

Jaksa berharap Polresta Mataram segera mengembalikan berkas agar kasus diproses.

“Oleh karena kasus ini masih dalam ranah penyidikan Polresta Mataram, pihak Kejaksaan tidak dapat berkomentar banyak, namun jaksa masih berharap berkas dapat segera dikembalikan,” ujarnya.

Perwakilan koalisi, Yan Mangandar Putra, menyampaikan kekecewaan terhadap lambatnya proses penyidikan terhadap tersangka AA.

“Jika proses hukum kasus kejahatan kemanusiaan ini terhenti maka tentu akan menjadi preseden buruk, karena publik tahu sejak awal kasus ini terungkap, kepolisian dan pengacara korban pun terbuka blak-blakan menceritakan detail kasus ini bahkan diceritakan ada dugaan korban lain akibat dari perbuatan tersangka,” katanya.

Yan mengatakan, jika alasan kasus dihentikan karena korban tidak kooperatif dan tidak menghadiri pemeriksaan, justru alasan tersebut dinilai tidak tepat.

“Alasan tersebut tidak lah tepat, karena dengan sumber daya yang dimiliki kepolisian jangankan korban yang masih tinggal di wilayah Mataram, luar negeri pun bisa dijemput seperti kasus tersangka Josep yang diduga menistakan agama yang berada di luar negeri tetap diburu untuk dijemput,” jelasnya.

“Sehingga kasus ini sepatutnya tetap dilanjutkan proses hukumnya hingga tuntas,” katanya.

Koalisi menegaskan, jika penyidik menganggap kasus ini belum cukup bukti, maka dapat dilakukan penghentian dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selain untuk kepastian hukum, SP3 juga untuk kepentingan tersangka.

“Sehingga jangan sampai status Tersangka terus menyemat terlalu lama sehingga hak-hak tersangka yang lain terabaikan,” katanya.

“Koalisi memastikan untuk siap mendukung kejaksaan dan kepolisian agar kasus ini terselesaikan yang tentunya dengan harapan hukum dan keadilan harus tetap ditegakkan,” ujar Yan Mangandar. (red)

Foto: Ilustrasi