PERDA Pencegahan Perkawinan Anak di NTB Dinilai Hanya Pepesan Kosong
KORANNTB.com – Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi NTB Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak resmi dikeluarkan. Namun, justru mendapat kritik aktivis perlindungan anak dan dewan.
Aktivis dan Anggota DPRD NTB menilai beberapa pasal dalam Perda tersebut dihilangkan oleh Biro Hukum Pemprov NTB.
Pasal yang dimaksud adalah pasal tentang sanksi dan alokasi anggaran sebesar 1 persen untuk pencegahan perkawinan usia anak.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, mengatakan pasal 30 yang mengatur sanksi administratif dan pasal 31 mengatur sanksi pidana, dihilangkan dalam Perda tersebut, padahal itu merupakan substansi dari Perda tersebut.
“Itu seperti roh diambil dari jasad. Banyak sekali teman-teman mengungkapkan kekecewaannya. Sebagian besar terkait pepesan kosong Perda itu,” katanya, Rabu, 7 Juli 2021.
Joko mengatakan, dalam Raperda yang sudah ditetapkan DPRD NTB telah membahas sanksi pidana terhadap orang-orang yang terlibat dalam perkawinan anak, seperti orang tua, Kadus hingga penghulu.
Sanksi tidak serta-merta dapat dipidana, melainkan jika dia mengulangi perbuatan serupa memfasilitasi pernikahan anak.
“Jadi tidak ujuk-ujuk dipidana. Tapi jika mengulangi perbuatan serupa,” ujarnya.
Tujuan sanksi masuk dalam Perda agar masyarakat tidak lagi menikahi anak. Apalagi, kasus pernikahan usia anak sangat marak di NTB.
Selain itu pasal terkait alokasi satu persen untuk pencegahan perkawinan anak juga dihilangkan dari Perda tersebut.
“Kemudian ada pasal 33 ayat (2) itu mengatur tentang Pemda yang harus menganggarkan minimal 1% APBD untuk pencegahan perkawinan anak, juga dihilangkan,” ujar Joko.
Ketua Pansus Raperda, Akhdiansyah alias Guru Toi, mengaku sangat kaget ada pasal yang dihilangkan dalam Perda tersebut.
“Pasal terkait sanksi dan alokasi anggaran sudah clear kita bacakan di paripurna. Saya akan konfirmasi ke Biro Hukum,” ujarnya dihubungi.
Dia menyayangkan dirinya sebagai ketua pansus namun justru tidak dikonfirmasi saat pasal tersebut dihilangkan.
“Saya sebagai ketua pansus harus dikonfirmasi dong. Tapi sampai sekarang tidak,” sesalnya.
“Harusnya dikonfirmasi biar kami bisa mencari jalan keluar. Itu pasal yang dihilangkan susah fiks dalam paripurna.”
Guru Toi mengatakan sikap Biro Hukum yang tidak memberitahu DPRD NTB terhadap pasal yang dihilangkan adalah bentuk pelanggaran terhadap mekanisme penyusunan Perda.
“Itu pelanggaran terhadap mekanisme. DPRD secara kelembagaan harus dikonfirmasi dong. Saya tetap sesuai kesepakatan awal Raperda karena itu sudah dibahas panjang lebar,” ujarnya.
Sementara, Kepala Biro Hukum Pemprov NTB, Ruslan Abdul Gani, mengatakan kewenangan untuk mengubah pasal ada di Mendagri, bukan pada Pemprov NTB.
Agar Raperda tersebut menjadi Perda harus difasilitasi oleh Mendagri.
“Itu difasilitasi Jakarta. Walaupun disepakati DPRD dan eksekutif, sehingga setelah dibahas, sebelum ditetapkan maka dikirim ke Kementerian Dalam Negeri untuk dilakukan fasilitasi,” ujarnya.
Menanggapi protes dewan karena sebelumnya tidak mengkonfirmasi pasal yang dihilangkan, Ruslan mengatakan itu kewenangan Mendagri, bukan kewenangan DPRD NTB.
“Yang merubah itu Jakarta. Apanya mau kita protes. Karena di undang-undang hasil fasilitasi wajib ditindaklanjuti, kalau tidak maka tidak diberikan nomor registrasi,” katanya.
“Sama seperti Perda kabupaten kota kita (Pemprov) yang fasilitasi. Kalau pasal tidak sesuai ya dihilangkan,” ujarnya.
Ditanya alasan Mendagri menghilangkan pasal tersebut, Ruslan enggan menjawab. (red)
Foto: Ilustrasi