KORANNTB.com – Keberadaan sampah di Indonesia, masih menjadi permasalahan kompleks dan belum mampu dikelola dengan baik. Penyebaran Covid-19 yang melanda Indonesia semenjak Maret 2020, turut memberikan dampak terhadap pengelolaan sampah di Indonesia.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB (DLHK NTB), Madani Mukarom, mengungkapkan bahwa kondisi sampah di Indonesia, termasuk di NTB membutuhkan kerjasama dari semua pihak dan perubahan pola pikir terhadap sampah.

Hal itu disampaikan dalam kesempatan agenda “Workshop dan Pelatihan Pengelolaan Sampah di Masa Covid-19 untuk Mewujudkan NTB Gemilang” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Barat (LPW NTB), Pondok Pesantren dan Al-Istiqomah Nahdlatul Wathan Dasan Poto (MA Al-Istiqomah NW) serta dukungan DLHK NTB, pada Selasa, 27 Juli 2021 di Desa Rarang, Kecamatan Terara,  Lombok Timur.

“Sampah ini menjadi tantangan kita bersama, perlu merubah perilaku, kita harus punya visi menjadikan wilayah terbersih, mulai dengan kebiasaan pilah dan olah sampah, nantinya akan berpengaruh ke lingkungan yang lebih besar,” katanya.

Madani juga menyampaikan dalam pengelolaan sampah, Pemda Provinsi NTB memiliki program Zero Waste yang merupakan turunan dari visi NTB Gemilang dan misi membangun NTB yang asri dan lestari.

“Upaya pengelolaan sampah, tidak dapat diwujudkan tanpa keterlibatan semua. Penting untuk membangun kekuatan masyarakat, mulai dari sekolah, rumah tangga, kegiatan ini adalah bentuk memperkuat kerja pemerintah, dengan jumlah pegawai yang terbatas, mustahil pemerintah melakukan sendiri, kita berharap juga dilaksanakan ditempat lain,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, TGH. Lalu Ishak, selaku Kepala MA Al-Istiqomah NW mengungkapkan bahwa pengelolaan sampah merupakan konsep yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW, bahwa kebersihan bagian dari iman.

TGH. Lalu Ahmad Yani selaku Ketua Ponpes, juga menegaskan, jauh sebelum keluarnya undang-undang dan peraturan tentang pengelolaan sampah, Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan kepada umatnya tentang pentingnya menjaga kebersihan.

“Lingkungan pondok pesantren dalam pandangan umum, pondok itu dianggap kumuh, kotor, penyakit menular, terbelakang dan lain sebagainya, maka lewat kegiatan workshop dan pelatihan literasi zero waste ini sekaligus terus mengingatkan kita pentingnya kebersihan, serta kami berharap dapat meningkatkan pengetahuan bagaimana mengelola sampah,” ujarnya.

,Kabid Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran DLHK NTB, Firmansyah mengatakan, setiap hari satu orang bisa memproduksi sampah 2 – 3 Kg. Kondisi Covid-19, dengan imbauan di rumah saja, maka produksi sampah rumah tangga juga meningkat.

“Sumber sampah paling banyak adalah dari sampah rumah tangga yaitu sebanyak 62%, pasar tradisional 13%, pusat perniagaan 7 %, kawasan 4%, fasilitas Publik 3% dan lainnya 6%,” ujarnya.

Tahun 2020, Firmansyah menyatakan Pemerintah Provinsi NTB sudah menangani sampah sebanyak 37.63%, sedangkan yang belum tertangani sekitar 62.37%.

“Pemerintah berharap masyarakat ikut berpartisipasi dalam rangka menangani sampah minimal mulai dari pilah dan olah sampah dari rumah masing-masing, tidak harus wah, bisa mulai dengan mudah, kalau ini dilakukan maka akan mengurangi sampah ke TPA,” kata Firmansyah.

Untuk mengatasi persoalan sampah, Firmansyah mengungkapkan ada berbagai strategi, DLHK NTB tengah mendorong pilah dan olah sampah di rumah dan memanfaatkan dengan metode di antaranya composter bag, biopori dan black soldier fly.

Syawaludin, Direktur Bank Sampah Bintang Sejahtera NTB, yang mengisi kegiatan juga menyampaikan bahwa di lingkungan pondok pesantren perlu membangun kesadaran terhadap santri dan santriwati, ustadz dan ustadzah tentang pentingnya pilah dan olah sampah.

Menurut Syawaludin, sampah harusnya tidak dilihat sebagai masalah, tetapi peluang untuk meningkatkan ekonomi.

“Kita impor sampah, kalau kita kelola peluangnya besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sebagian besar pakaian dan kebutuhan yang kita gunakan itu diolah lagi dari sampah,” kata Syawaludin.

“Terlalu jauh kita berbicara tentang teknologi, alat-alat canggih pengolah sampah dan lain sebagainya tapi pikirkanlah berapa banyak sampah yang engkau hasilkan tiap harinya dan bagaimana mengubah sampah itu menjadi emas,” katanya.

Syawaludin meyakini bahwa penggunaan teknologi tidak akan optimal jika tidak didukung oleh perilaku masyarakat.

“Urusan penanganan sampah bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, tapi harus dirubah paradigma berrpikir, memperbaiki perilaku masyarakat, juga tanggungjawab pihak produsen yang menghasilkan banyak sampah pada produknya,” katanya.

“Gerakan sedekah sampah juga bisa dimulai di lingkungan pesantren ini misalnya tiap hari santri dan santriwati mengumpulkan dan memilah sampah, plastik gelasan, botolan, kertas dan lain-lain,” katanya.

“Sampah yang sudah dipilah dan dikumpulkan tadi bisa kita sedekahkan kepada pemulung-pemulung. Satu sisi kita dapat pahala dan di sisi yang lain lingkungan pondok dan rumah kita juga bersih dan bebas sampah,” imbaunya. (red)