Setengah Hati Melawan Korupsi di Tengah Krisis
Oleh: – Tim Pengkaji Fakultas Hukum Universitas Mataram
Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely – Lord Acton
KORANNTB.com – Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen. Ungkapan popular dari sejarahwan Inggris, John Emerich Edward Dalberg Acton atau lebih dikenal dengan Lord Acton (1833-1902) di atas, memberikan gambaran bahwa ancaman perbuatan korupsi berada pada lingkar kekuasaan, maka juga mengirimkan semacam peringatan bahwa kekuasan haruslah terus diawasi.
Ancaman Korupsi
Di Indonesia, ancaman korupsi terus menunjukan peningkatan dari tahun ketahun. Data Transparency International Indonesia menunjukan indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia tahun 2020 berada di angka 37 pada skala 0-100. Adapun skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih. Skor Indonesia adalah 37 dengan ranking 102 dan skor ini turun 3 poin dari tahun 2019.
Turunnya angka IPK tersebut juga membuat posisi Indonesia melorot menjadi peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya. Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 85. Pada tahun 2019 Indonesia berada pada skor 40 dan ranking 85.
Di samping itu, laporan Rule of Law Index (ROLI) tahun 2020 menempatkan Indonesia berada di peringkat 59 dari 128 negara dengan skor sebesar 0,53 poin dengan skala 0-1. Semakin rendah nilainya maka indeks negara hukumnya makin buruk ataupun sebaliknya.
Tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 126 negara dengan skor 0,52 poin. Secara peringkat mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Sedangkan secara poin Indonesia hanya meningkat sebesar 0,01 poin.
Berdasarkan indikator ketiadaan korupsi dalam ROLI pada tahun 2020, Indonesia berada pada peringkat 92 dari 128 negara dengan skor 0,39. Sedangkan pada tahun 2019 Indonesia berada peringkat 97 dari 126 negara dengan skor 0,38. Baik secara peringkat ataupun poin, Indonesia tidak mengalami peningkatan yang signfikan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, terdapat 1.298 terdakwa kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2020. Akibat tindak pidana korupsi, ICW juga melaporkan kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun dan total kerugian negara akibat tindak pidana suap mencapai Rp 322,2 miliar. Sementara itu, pidana tambahan uang pengganti yang ditetapkan pada para terdakwa hanya sebesar Rp 19,6 Triliun dan total nilai denda hanya sebesar Rp 156 miliar.
Peradilan Ramah Koruptor
Kondisi korupsi yang merajalela di atas, tidak diimbangi dengan pikiran peradilan untuk memberantas benih korupsi. Hal itu tercermin dari beberapa putusan pengadilan yang “ramah” terhadap koruptor, di antaranya paling terakhir adalah putusan terhadap Juliari Batubara.
Namun, sebelum itu, pengadilan juga pernah menganulir putusan peradilan di bawahnya, yaitu pada kasus Syafruddin Arsyad Temenggung dengan putusan lepas (ontslag van alle rechtsvervolging), atau dengan kata lain, perbuatan terdakwa terbukti, namun bukan sebagai tindak pidana.
Hal demikian tentu mengecewakan, di tengah upaya bangsa Indonesia melawan korupsi. Cara-cara penegakan hukum yang demikian sangatlah mencedarai jiwa hukum pidana, tidak memberikan pelajaran bagi generasi, dan menambah catatan panjang kelonggaran peradilan dihadapan koruptor.
Syafruddin Arsyad Temenggung
Syafruddin Arsyad Temenggun, merupakan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2004.
Ia dituntut telah melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama, dan dinyatakan bersalah pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Namun, upaya kasasi di Mahkamah Agung memberikan hadiah putusan lepas, dengan menyatakan bukan sebagai tindak pidana.
Putusan
Pada pengadilan pertama dinyatakan bersalah melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama, sebagai diatur Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Untuk itu, Jaksa menuntut untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 15 (lima belas) Tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
Pada upaya hukum banding di pengadilan tinggi, hakim sejalan dengan putusan pengadilan negeri, yaitu memperkuat bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama.
Upaya Kasasi
Upaya hukum kasasi, ditempuh terdakwa dengan pokok permohonan menyatakan bahwa judex facti (fakta) telah salah dan keliru dalam menerapkan hukum dan Judex facti terbukti telah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Mahkamah Agung dengan Putusan No. 1555/K.Pid.sus/2019 memberikan putusan dengan pokok diantaranya bahwa: Pertama, terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
Kedua, melepaskan terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Ketiga, memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Salah Pertimbangan
Korupsi merupakan bentuk kejahatan ekonomi dan kejahatan jabatan, salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah adanya kerugian negara. Harus tampak dengan nyata kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi.
Pada kasus tersebut, di Pengadilan tingkat pertama, dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah nyata yang dilakukan oleh terdakwa adalah merugikan negara, dengan jabatan ketua BPPN, turut serta dan secara melawan hukum.
Atas pertimbangan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdakwa tidak merugikan keuangan negara dengan menguntungkan orang lain dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan adalah untuk melakukan hal yang penting dalam rangka menyelamtkan perekonomian negara tidak dapat sepenuhnya dibenarkan.
Pembentukan BPPN pada dasarnya adalah dengan tugas pokok untuk penyehatan perbankan, penyelesaian asset bermasalah dan mengupayakan uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Dalam pengadilam tingkat pertama perbuatan terdakwa yang mehapuskan piutang dan menerbitkan surat keterangan lunas telah dapat dibuktikan berdasarkan verifikasi saksi saksi dan alat bukti
Selain itu, MA memperkuat dengan beberapa pertimbangan yaitu, Pertama terdakwa selaku Ketua BPPN menjalankan kewajibannya dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 Ayat (1) KUHP), serta melaksanakan kewajiban dan wewenangnya sebagai Pejabat Penyelenggara Negara atas perintah Undang-Undang selaku Pejabat Tata Usaha Negara.
Kedua, perbuatan Hukum Terdakwa dalam pemberian SPKPS (Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham) adalah menjalankan perintah Jabatan karena kedudukan terdakwa selaku ketua BPPN yang diangkat oleh Presiden Presiden R.I. berdasarkan Surat Keputusan Nomor 73/M Tahun 2002 tanggal 22 April 2002; Pasal 51 Ayat (1) KUHP menyebutkan “Barang Siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan (ambtelijk bevel) yang diberikan penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Pertimbangan MA itu tidaklah tepat. Menjalankan perintah jabatan menjadi tidak dihukum dengan syarat: Pertama, apabila perintah seperti itu oleh bawahan yang bersangkutan dengan “itikad baik”, atau “te goeder Trouw” dianggap sebagai suatu perintah yang telah diberikan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh atasannya. Kedua, apabila ketaatan pada perintah tersebut memang terletak dalam ruang lingkup pekerjaannya sebagai bawahan.
Jabatan sebagai Ketua BPPN yang diangkat oleh presiden mempunyai kewajiban utama penyehatan perbankan, penyelesaian asset bermasalah dan mengupayakan uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Jadi hal yang tidak dapat dipidana adalah apabila terdakwa melakukan hal sesuai dengan tugas pokokmya. Namun dalam pembuktian yang dilakukan di persidangan telah terbukti bahwa terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya untuk menghapuskan piutang dan menerbitkan keterangan lunas padahal kewajiban untuk melunasi belum dilakukan. Jadi apa yang dilakukan terdakwa tidak dapat dikatakan sebagai menjalankan perintah jabatan yang sah.
Atas pertimbangan hakim MA yang menyatakan bukan ranah pidana, sesungguhnya hal demikian tidaklah benar. Mengingat apa yang dilakukan oleh terdakwa dengan menerbitkan Surat Keterangan Lunas telah mengakibatkan negara kehilangan hak penagihan piutang kepada Syamsul Nursalim sebesar Rp4.800.000.000.000,00 (empat triliun delapan ratus miliar rupiah) yang secara tidak langsung menimbulkan kerugian kepada negara sejumlah piutang tersebut bukan merupakan masalah perdata tetapi merupakan masalah tindak pidana korupsi, karena jabatan yang dimilikinya terdakwa dapat melakukan hal tersebut.
Hal lain yang menjadi catatan dalam kasus tersebut adalah bahwa dilakukan pada saat krisis moneter, yang dikategorikan sebagai keadaan tertentu. Berarti, yang seharusnya mempertimbangkan penerapan pidana mati atau seumur hidup. Hal demikian sesuai penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor adalah perbuatan dilakukan apabila negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis moneter. (red)