KORANNTB.com – Gempa bumi 7,4 magnitudo yang berpusat di 112 kilometer arah barat laut Kota Larantuka, NTT pada kedalaman 10 kilometer, membuat banyak wilayah siaga tsunami.

Gempa tersebut dirasakan di sebagian besar kabupaten di NTB, bahkan hingga NTB dan Sulsel.

Ketua Kerukunan Masyarakat Adat Nusantara (Kermahudatara) Provinsi NTB, Ratu Ince Khairunnisa mengatakan, gempa tersebut berkaitan dengan Ratu Buaya Putih yang memiliki kekuasaan gaib di perbatasan Timor Leste dan Atambua.

“Di bagian Atambua, itu ada masyarakat hidup dari tenda ke tenda, padahal mereka warga NKRI. Mereka adalah manusia yang harus dilindungi dan membutuhkan makanan, tetapi pemerintah di sana membawa ke ranah politik,” katanya dihubungi, Selasa, 14 Desember 2021.

“Inilah akibatnya bahaya poltik, yang tidak mau tahu dengan adat istiadat yang sakral,” ujarnya.

Bahkan, dia mengatakan bencana serupa bisa terjadi lagi karena manusia saat ini hidup dengan penuh keserakahan dan kesombongan.

Bukan hanya di NTT, tapi juga dengan daerah lain di Indonesia. Menurutnya, penguasa alam gaib seperti Ratu Pantai Selatan, Ratu Borneo dan Dewi Anjani di Lombok sudah berusaha menjaga alam agar tidak terjadi bencana. Karena bumi telah berada di ambang kehancuran.

“Gempa ini bisa terjadi di mana-mana. Ratu pantai Selatan, Ratu Borneo, Dewi Anjani dan leluhur lainnya sudah turun dan menjaga agar tidak terjadi bencana lagi. Bumi ini sudah bau amis, bau amis darah di mana-mana,” katanya.

Ia meminta masyarakat agar tetap waspada, memohon ampunan dan meminta perlindungan dari yang Maha Kuasa.

“Dari adat mana saja, agama apa saja. Mulai bikin acara kecil, nasi sayur kelor tempe tahu dengan keluarga, panjatkan doa bersama. Manusia sering lupa dengan alam, suatu saat alam ini akan mengambil semuanya,” katanya.

Ratu Ince Khairunnisa mengatakan rentetan gempa bumi di Indonesia, mulai dari erupsi Gunung Semeru, banjir bandang Lombok yang memakan korban hingga gempa NTT,  bukan hal biasa, tapi sebagai bentuk teguran Sang Pencipta.

“Ini merupakan teguran dari Allah SWT, agar manusia bisa lebih menghargai dan mencintai alam,” katanya.

Secara esoterik dia menjelaskan, ada keterkaitan antara bencana letusan Semeru, banjir bandang, dan gempa bumi NTT.

“(Bencana) ini satu mata air, ini semua ada jalurnya. Ibarat aliran darah dalam tubuh, masing-masing ada jalurnya hingga urat nadi terkecil,” katanya.

Menurutnya, teguran berupa bencana ini terjadi agar manusia tidak lupa diri dan mementingkan kehidupannya sendiri. Sementara di lain sisi melupakan keberadaan alam, hewan dan tumbuhan, serta mahluk hidup lainnya.

Ritual Adat

Dia meminta agar masyarakat tidak lupa dengan adat mereka. Ritual adat harus digelar sesuai dengan agama untuk meminta ampun kepada Tuhan.

Kegiatan ini bisa dilakukan sesuai adat dan agama masing-masing. Prosesnya seperti roah dan doa bersama, untuk menolak bala, dan meminta perlindungan dari yang Maha Kuasa agar terhindar dari bencana.

“Harus diadakan ritual adat sakral. Masyarakat juga harus banyak bersedekah. Bagikan sebagian uang dan makanan untuk yang benar-benar membutuhkan, karena di sana ada hak fakir miskin dan anak terlantar juga,” katanya.

Serupa Gempa Lombok

Dia menjelaskan, rentetan bencana di Indonesia serupa gempa Lombok. Dia kerapkali didatangi penguasa gaib untuk menyampaikan peringatan kepada manusia.

Saat itu, sosok Ratu Pantai Selatan dan Dewi Anjani beberapa kali menemuinya dan menitipkan pesan. Dua tokoh mitologi yang sakral itu meminta agar roah dan doa bersama dilakukan masyarakat Lombok dipusatkan di kawasan pantai Senaru, Lombok Utara.

“Saat itu sudah saya sampaikan ke beberapa orang di pemerintahan daerah, juga ke PMI NTB. Tetapi pesan itu diabaikan,” ujarnya.

“Lalu benar terjadi, seminggu setelah gempa bumi ada gempa lagi dan longsor di wilayah timur, kemudian ada juga angin puting beliung di wilayah utara saat itu. Ada juga banyak anak gadis kerasukan,” katanya.

Ia mengaku, kali ini sosok Nyai Roro Kidul penguasa laut Selatan dan beberapa ratu lainnya juga sudah berkomunikasi dengan dirinya. Pesan yang disampaikan sama, bahwa alam mulai marah karena ulah manusia. (red)