KORANNTB.com – Masalah prostitusi di Kota Mataram, Lombok, tiada habisnya. Bahkan, prostitusi semakin menjamur melalui aplikasi Michat. Orang-orang dengan mudah melakukan transaksi kenikmatan hanya dengan bermodal ponsel dan internet, di mana saja dan kapan saja.

Open sekarang ya kaka. Pembayarannya cod (cash on delivery) ya,” tulis seorang pramunikmat melalui akun Michat miliknya.

Itu bukan iklan jual beli takjil puasa, namun ajakan kepada laki-laki yang telah berteman dengannya pada akun Michat untuk layanan prostitusi.

AM merupakan gadis asal Lombok Timur yang sudah cukup lama bekerja sebagai pekerja seks komersial. Dia mengatakan, sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat dia terjun ke dunia hitam prostitusi.

Dia sebelumnya indekos di sebuah kos di Cakranegara, Mataram. Kos tersebut cukup bebas dan hampir semua penghuni adalah wanita pramunikmat.

AM memiliki paras yang cukup cantik. Badannya padat berisi dan langsing. Wajah yang ayu membuat banyak pria tertarik dengannya. Awalnya dia menjalankan bisnis esek-esek di kos miliknya. Namun, unik dia tidak ingin terlihat sering banyak menerima tamu pria pada teman-teman kosnya. Itu yang membuat dia pindah operasi di hotel-hotel melati.

“Sudah berhenti buka (kerja) di kos. Enggak enak saya aja banyak tamu. Teman lain pada sepi pelanggan. Nanti saling iri,” ujarnya belum lama ini.

AM memang cukup populer di karyawan-karyawan hotel melati seputar Mataram. Sehingga saat memesan kamar, dia tidak risih meskipun datang bersama lelaki.

“Sudah biasa. Mereka semua kenal saya, kenal teman-teman saya juga,” ujarnya.

Dia mengaku, sering bekerja hingga jam 4 pagi. Itu tergantung tamu yang memesan dia melalui aplikasi Michat.

Gadis yang humble ini mengatakan dia saat bekerja akan menyewa hotel seharian. Selama sehari di hotel, dia bisa menerima tamu 4 hingga 6 orang. Itu cukup menguntungkan dengan tarif Rp500 ribu per tamu.

“Sewa hotel 150-200 ribu. Kalau dapat empat tamu sudah 2 juta. Lumayan lah kak,” katanya.

Tapi di saat kondisi sedang sepi, AM menyewa hotel patungan dengan teman PSK lainnya. Mereka patungan Rp100 ribu per orang dan akan gantian menerima tamu.

“Tapi kalau seperti itu rugi juga kak. Kadang saya dapat tamu, dia enggak dapat nanti kita bagi dua duitnya. Mending sewa (kamar) sendiri aja,” ujarnya.

AM hanya satu dari banyaknya wanita pramunikmat di Lombok yang beroperasi melalui aplikasi Michat. Banyak pekerja seks yang beroperasi dengan beragam cara, mulai dari praktik spa plus-plus di salon, pijat di indikos dan di hotel, dan layanan kencan lainnya.

Masuk bulan puasa saat ini, polisi terus memburu pelaku prostitusi dengan sandi Pekat Gatarin. Satu per satu pekerja seks diamankan polisi. Bahkan, penyedia layanan seks komersial yang biasa disebut ‘mami’ atau ‘papi’ dikenakan pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang memiliki ancaman hukum berat.

Pada Senin, 5 April 2022 polisi menggelandang lima orang. Tiga adalah pekerja seks komersial dan dua pemilik salon kecantikan dan seorang karyawan. Salon yang ada di wilayah Cakranegara, Mataram itu menyediakan spa plus-plus melalui aplikasi Michat.

Kasat Reskrim Polresta Mataram, Kompol Kadek Adi Budi Astawa mengatakan uang untuk layanan prostitusi berkisar Rp400 hingga Rp500 ribu. Sebesar 50 persen disetor ke pemilik spa.

“Dari hasil pemeriksaan diketahui, para wanita muda PA, RN, SU dan N, bisa diajak kencan melalui aplikasi dewasa Michat. Tarif mereka berkisar Rp400 ribu sampai Rp500 ribu untuk sekali kencan di kamar Spa,” ujar Kadek.

Ilustrasi prostitusi

Gaya Hidup

Koordinator Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram, Joko Jumadi, mengatakan telah lama bersama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB melakukan penelitian tentang prostitusi melalui Michat.

Menggunakan fitur jangkauan lokasi di Michat, para wanita yang bekerja prostitusi sangat banyak. Justru tidak jauh dari kantor LPA.

“Itu radius 1 kilometer dari kantor LPA ditemukan lebih dari 30 orang akun yang menawarkan diri atau seolah-olah menawarkan diri. Cuma memang kita tidak bisa memverifikasi itu penipuan atau bukan,” ujarnya.

Joko mengatakan, sejak lama kasus prostitusi di Lombok didominasi oleh pelaku dari Pulau Jawa. Namun saat ini justru banyak pelaku prostitusi berasal dari NTB sendiri.

“Ada pergeseran trend yang semula dari Jawa, kini justru banyak yang lokal,” katanya.

Joko mengatakan faktor maraknya wanita terjun ke dunia prostitusi memiliki penyebab tidak tunggal. Selain faktor broken home, juga faktor ekonomi menjadi penyebab. Faktor ekonomi bukan soal kemiskinan, melainkan gaya hidup.

“Faktor penelitian kita untuk prostitusi anak penyebab tidak tunggal. Ada ekonomi, keluarga broken home. Ekonomi bukan memenuhi kebutuhan primer tapi kebutuhan sifatnya tersier. Mereka beli tas harga jutaan,” ujarnya.

Joko Jumadi mengapresiasi aparat kepolisian yang menerapkan pasal TPPO terhadap mucikari dalam kasus tersebut. Dia juga meminta pemerintah hadir dalam mengawasi dan menindak bisnis di Lombok yang dijadikan sarang prostitusi. (red)