KORANNTB.com – 5 Agustus 2018 menjadi hari yang paling diingat masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada pukul 19.46 WITA, gempa bumi berkekuatan 7,0 magnitudo mengguncang Pulau Seribu Masjid. Hari ini bertepatan dengan empat tahun gempa Lombok.

Gempa berpusat di Lombok Utara pada kedalaman 18 kilometer barat laut Lombok Timur. Catatan BMKG, gempa disebabkan Sesar Naik Busur Belakang Flores (Flores Back Arc Thrust).

Selain NTB, gempa Lombok terasa hingga ke Bali, Madura dan Pulau Jawa, serta sebagian Pulau Sumba dan Pulau Flores. Getaran gempa di Lombok cukup besar mengakibatkan 564 orang meninggal dunia.

Gempa tersebut juga menyebabkan lebih dari 1.400 orang luka, 67.875 rumah rusak, 468 sekolah rusak dan lebih dari 350 ribu orang mengungsi.

Saat gempa, BMKG telah mengeluarkan peringatan dini tsunami. Tsunami terdeteksi di pesisir Carik Lombok Utara, Labuan Badas Sumbawa dan Lembar Lombok Barat. Beruntung tsunami tidak naik ke daratan, hingga BMKG pada pukul 21.25 WITA mencabut peringatan dini tsunami.

Gempa 5 Agustus merupakan gempa utama dari gempa pendahuluan yang sebelumnya terjadi di Lombok pada 29 Juli 2018. Gempa tersebut berkekuatan 6,4 magnitudo pada subuh 06.47 WITA.

Gempa tersebut menewaskan 20 orang. Salah satunya merupakan wisatawan Malaysia bernama Siti Nur Lesmawida yang terkena runtuhan di penginapan Sembalun Lombok Timur.

Mitigasi Bencana

Gempa besar yang mengguncang Lombok merupakan risiko karena Indonesia tinggal di cincin api Pasifik (ring of fire). Deretan gunung berapi yang mengelilingi cekungan samudera. Daerah tersebut merupakan langganan gempa bumi.

Kondisi alam tersebut mengharuskan masyarakat yang tinggal di sana untuk belajar menghadapi bencana yang tidak bisa diprediksi kapan akan datang kembali.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, Sahdan mengatakan sudah seharusnya masyarakat NTB paham tentang mitigasi bencana. Dia mengatakan ada hikmah di balik gempa 2018 silam, yang kini menumbuhkan pemahaman mitigasi bencana masyarakat.

“Ada hikmahnya juga gempa 2018. Sekarang di mana-mana kita ke masyarakat, mereka memahami betul. Mereka mulai berhati-hati dan tahu apa yang harus dilakukan. Kita coba dalami di daerah pesisir mereka sudah lebih paham,” katanya, Jumat, 5 Agustus 2022.

Sahdan menjelaskan, masyarakat pesisir telah paham jika gempa besar mengguncang, mereka akan dengan tenang mengevakuasi diri dan keluarga ke zona evakuasi.

BPBD NTB juga saat ini tengah membentuk desa tangguh bencana. Pada tahun depan sebanyak 434 desa tangguh bencana terbentuk. Tahun ini sebanyak 285 desa tangguh bencana telah terbentuk.

“Saat ini sudah 285 desa tangguh bencana terbentuk. Kita memiliki target pada tahun 2023 sudah terbentuk 434 desa tangguh bencana,” ujarnya.

Desa tersebut dibentuk berdasarkan peta rawan bencana yang dikeluarkan BPBD. Desa yang masuk zona merah akan dibentuk sebagai desa tangguh bencana.

“Kita membentuk desa tangguh bencana berdasarkan peta rawan bencana di NTB. Di sana ada relawan desa,” ujarnya

Ada sebanyak 30-35 warga desa yang menjadi relawan tangguh bencana. Mereka bertugas mengedukasi masyarakat soal mitigasi bencana.

Sahdan menjelaskan, ada sebanyak 12 hingga 13 jenis bencana. Tetapi yang menonjol di NTB berupa gempa, tsunami, puting beliung, banjir, kekeringan dan kebakaran. Sehingga bencana tersebut menjadi fokus diedukasi ke masyarakat.

“Kita memiliki 12 hingga 13 jenis bencana. Tapi tentu saja kita prioritaskan mengedukasi masyarakat bagaimana mitigasi dari bencana yang sering terjadi di NTB,” ujarnya.

Selain mengedukasi mitigasi bencana, BPBD NTB juga melatih masyarakat bagaimana mengelola keuangan siaga bencana. Masyarakat akan dilatih menyiapkan tabungan yang sewaktu-waktu terjadi bencana dapat digunakan.

Sahdan menjelaskan dalam menangani bencana, dibutuhkan kolaborasi pentahelik dengan banyak pihak termasuk media. Sehingga tujuan menjadikan masyarakat tangguh bencana tercapai.

“Penanganan bencana tidak bisa pemerintah sendiri. Pola pentahelix.  Mulai pra, saat dan pasca bencana,” katanya. (red)