Gempa Purba dan Ancaman Tsunami “Mengintai” Lombok
KORANNTB.com – Lombok merupakan kepulauan yang menjadi langganan gempa. Bahkan beberapa kali tsunami pernah terjadi di Lombok. Itu bukan tanpa alasan, mengingat kepulauan Sunda Kecil ini berada pada ring of fire atau cincin api Pasifik.
Deretan gunung api di Indonesia menjadi penyumbang angka bencana alam gempa dan tsunami.
Bahkan, Lombok memiliki sejarah kelam menyimpan megathrust atau gelombang tsunami raksasa yang ketinggian diperkirakan mencapai 20 meter. Tidak bisa dibayangkan bagaimana tsunami sangat tinggi tersebut dapat menyapu daratan.
Ahli Geologi dan Tektonik Amerika Serikat, Prof Rolland A. Harris pernah melakukan penelitian di selatan Lombok. Di atas ketinggian sebuah bukit, dia dan tim menemukan pohon berusia tua yang di dalam batangnya tersimpan pasir laut yang berusia ratusan tahun.
Pasir laut yang berada pada bukit yang sangat tinggi menjadi tanda bahwa dahulu tsunami purba pernah terjadi di Lombok.
Sosialisasi kegempaan Rolland Haris pada Kamis, 4 Juli 2019 di Mataram, menyimpulkan siklus gempa besar di Lombok akan terulang kembali. Namun tidak diketahui pasti kapan tsunami besar itu datang. Yang perlu dibutuhkan masyarakat, bagaimana soal mitigasi mereka dari bencana tersebut. Kesiapan mitigasi menjadi faktor penting untuk selamat dari ancaman gempa dan tsunami.
Mengutip kembali pernyataan Rolland pada 2019 silam, potensi tsunami dengan kekurangan maksimal 9,5 magnitudo bisa terjadi di palung Jawa. Namun Lombok dapat terdampak hal serupa.
“Lokasi yang terjadi gempa besar sedikit kemungkinan terjadi gempa besar, jadi yang perlu diantisipasi lokasi yang terjadi gempa kecil kemungkinan terjadi gempa besar,” katanya.
Zona rawan bencana ada pada tumpukan lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia di Selatan Lombok. Lempeng tersebut terbentang dari Sumatera hingga Sumba. Kini zona tersebut dalam fase bangkit, namun tidak diketahui pasti kapan akan melepaskan energi gempa.
“Ada siklus tidur dan bangkit, sebenarnya sudah masuk bangkit, cuma memang kapan terjadinya semua tidak tahu,” katanya.
Rolland dalam observasi menemukan bukti endapan tsunami 500 tahunan. Dia mengatakan sudah waktunya siklus tersebut akan terulang.
“Kita menemukan endapan tsunami.
Tidak cukup dikatakan siklus 500 tahunan, tapi berdasarkan data 500 tahun lalu belum pernah lagi terjadi tsunami di kawasan Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumba, jadi berdasarkan data itu siklusnya kurang lebih 500 tahun sekali,” paparnya.

Dia menjelaskan, setiap satu tahun sekali lempeng Indo-Australia bergerak 7 sentimeter. Saat 2019 lalu kumpulan energi sudah 35 meter. Artinya Pulau Lombok telah bergeser 35 meter. “Jadi kalau terjadi gempa sudah bisa mengumpulkan energi minimal 9 magnitudo,” katanya.
Dalam perhitungan Rolland, gempa purba itu bisa mencapai 9,5 magnitudo. Jika itu terjadi, bahkan Mataram bisa terkena imbas tsunami maksimal 2 kilometer.
Pada intinya, masyarakat diingatkan untuk bersiap jika bencana tersebut datang kapanpun.
Bagaimana Mitigasi Masyarakat Lombok?
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, Sahdan mengatakan sudah seharusnya masyarakat NTB paham tentang mitigasi bencana. Dia mengatakan ada hikmah di balik gempa 2018 silam, yang kini menumbuhkan pemahaman mitigasi bencana masyarakat.
“Ada hikmahnya juga gempa 2018. Sekarang di mana-mana kita ke masyarakat, mereka memahami betul. Mereka mulai berhati-hati dan tahu apa yang harus dilakukan. Kita coba dalami di daerah pesisir mereka sudah lebih paham,” katanya, Jumat, 5 Agustus 2022.
Sahdan menjelaskan, masyarakat pesisir telah paham jika gempa besar mengguncang, mereka akan dengan tenang mengevakuasi diri dan keluarga ke zona evakuasi.

BPBD NTB juga saat ini tengah membentuk desa tangguh bencana. Pada tahun depan sebanyak 434 desa tangguh bencana terbentuk. Tahun ini sebanyak 285 desa tangguh bencana telah terbentuk.
“Saat ini sudah 285 desa tangguh bencana terbentuk. Kita memiliki target pada tahun 2023 sudah terbentuk 434 desa tangguh bencana,” ujarnya.
Desa tersebut dibentuk berdasarkan peta rawan bencana yang dikeluarkan BPBD. Desa yang masuk zona merah akan dibentuk sebagai desa tangguh bencana.
“Kita membentuk desa tangguh bencana berdasarkan peta rawan bencana di NTB. Di sana ada relawan desa,” ujarnya
Ada sebanyak 30-35 warga desa yang menjadi relawan tangguh bencana. Mereka bertugas mengedukasi masyarakat soal mitigasi bencana.
Sahdan menjelaskan, ada sebanyak 12 hingga 13 jenis bencana. Tetapi yang menonjol di NTB berupa gempa, tsunami, puting beliung, banjir, kekeringan dan kebakaran. Sehingga bencana tersebut menjadi fokus diedukasi ke masyarakat.
“Kita memiliki 12 hingga 13 jenis bencana. Tapi tentu saja kita prioritaskan mengedukasi masyarakat bagaimana mitigasi dari bencana yang sering terjadi di NTB,” ujarnya.
Selain mengedukasi mitigasi bencana, BPBD NTB juga melatih masyarakat bagaimana mengelola keuangan siaga bencana. Masyarakat akan dilatih menyiapkan tabungan yang sewaktu-waktu terjadi bencana dapat digunakan.
Sahdan menjelaskan dalam menangani bencana, dibutuhkan kolaborasi pentahelik dengan banyak pihak termasuk media. Sehingga tujuan menjadikan masyarakat tangguh bencana tercapai.
“Penanganan bencana tidak bisa pemerintah sendiri. Pola pentahelix. Mulai pra, saat dan pasca bencana,” katanya. (red)