KORANNTB.com – Kongres Advokat Indonesia (KAI) NTB menggelar penyuluhan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT di Hotel Jayakarta, Lombok Barat, Selasa, 11 Oktober 2022.

Penyuluhan hukum tersebut difasilitasi oleh L H. Burhanudin SH., MH, Ina Maulina SH,  Padhil, SS. SH., MH; Lalu Ahmad Ernadi SH., CLA; Sitti Savitri SH; dan moderator Endang Susilowati SH.

Endang Susilowati mengatakan tujuan dilakukan penyuluhan ini agar masyarakat memahami lebih detail kasus apa saja yang bisa dipersoalkan, dipidanakan dalam rumah tangga.

“Karena kasus cukup banyak, tetapi (korban) hanya pasrah, sehingga pelaku tidak ada efek jera, dan kasus bergulir terus,” katanya.

Dijelaskan, kekerasan dalam rumah tangga bagaikan fenomena gunung es yang tidak terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

Saat ini kasus KDRT yang lagi viral adalah kasus KDRT yang dialami oleh seorang artis papan atas yaitu Lesty Kejora oleh suaminya Rizky Billar. Hal ini juga terjadi di berbagai daerah, termasuk di Lombok, beberapa penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu persoalan ekonomi, perselingkuhan, pernikahan dibawah tangan/nikah siri, kekerasan fisik/non fisik, ikut campur pihak keluarga, poligami, dan persoalan lainnya.

“Kasus perceraian cukup tinggi baik yang melalui Pengadilan Agama, maupun yang terjadi di masyarakat yang pernikahannya secara siri, karena tidak tercatat, begitu mudah menceraikan istrinya cukup dengan melakukan talak, tanpa melalui proses pengadilan,” ujarnya.

Kaus-kasus KDRT terus merebak. Ada yang melaporkan kejahatan pidana ini diproses secara hukum, tetapi ada yang pasrah dengan kondisi yang ada, karena takut dengan prestise menjadi janda, takut tidak ada yang membiayai masih ketergantungan secara ekonomi, sehingga kasus terus bermunculan, karena tidak adanya efek jera bagi pelakunya.

“Kasus-kasus KDRT yang sudah masuk di kepolisian (sering) dicabut kembali karena delik aduan, dengan berbagai alasan. Hal inilah yang tidak memberikan efek jera,” ujarnya.

Peserta dalam penyuluhan hukum ini, sebanyak 20 orang dari mantan Pekerja migran Indonesia (PMI) yang berasal dari Desa Darek, Nyerot, Gemel, Pringgarata dan Keluruhan Gerunung.

Antusias peserta terlihat sepanjang diskusi. Mereka banyak bertanya persoalan kekerasan psikis. Kekerasan psikis menjadi pertanyaan soal alat bukti, karena tidak terlihat seperti kekerasan fisik.

“Misalnya ditinggal selingkuh oleh suami, suami jika marah mengeluarkan kata-kata kotor, ini yang membuat istri diam, karena kesulitan apa yang menjadi bukti, jika tidak ada orang lain yang melihat dan mendengarnya,” ujarnya.

Demikian juga suami lagi bekerja di Malaysia sebagai PMI/TKI menikah di sana. Menjadi pertanyaan apakah bisa menggugat cerai.

Termasuk istri yang bekerja di luar negeri, mengirim uang ke suaminya. Uang tersebut digunakan untuk membangun rumah di tanah orang tua suami, bagaimana dengan pembagian harta gono gini ketika kita cerai.

“Termasuk apakah bisa kita menggugat cerai ke pengadilan jika tidak mempunyai buku nikah, dan bagaimana caranya agar kita punya buku nikah,” katanya.

“Bagaimana jika suami saya di luar negeri tidak pernah kirim uang, apakah ini juga termasuk kekerasan ekonomi dalam rumah tangga, Apakah kalau suami diam-diam menikah siri bisa dipidanakan,” ujarnya.

Dari berbagai pertanyaan yang muncul, Ina Maulina menjelaskan ada empat kekerasan dalam rumah tangga.

“Kekerasan fisik yang bisa kita lihat seperti Lesty ada memar di mukanya, sedangkan kekerasan psikis misalnya dengan kata-kata kasar, selingkuh, kekerasan seksual jika istri dalam kondisi mentruasi atau jika akan melakukan hubungan melakukan kekerasan fisik terlebih dahulu,” ujarnya.

Ada juga, kekerasan ekonomi/penelantaran, jika tidak diberi nafkah atau diberi nafkah kecil sekali. Termasuk suami selama lebih dari dua tahun, jika tidak ada kabar, tidak mengirim uang, maka bisa digugat cerai.

Burhanudin dalam diskusi menjelaskan tentang harta gono gini, bahwa diperoleh ketika masa perkawinan. Jika ada sebelum perkawinan maka itu barang bawaan yang tidak bisa dibagi termasuk hadiah.

Sementara, Padhil menjelaskan jika tidak memiliki buku nikah, bisa menggugat perceraian lewat pengadilan, dalam proses pengadilan dimintakan isbat nikah kepada majelis hakim setelah itu baru proses perceraian, termasuk pembagian harta gono gini.

Diingatkan oleh Padhil usahakan memiliki buku nikah, jika tidak maka akan mengalami kerugian bagi istri jika pembagian harta gono gini, tidak ada dasar untuk menuntut.

Jika suami menikah tanpa ijin istri/secara diam-diam maka bisa dipidanakan/bisa dilaporkan ke pihak polisi, karena pernikahan yang kedua terhalang oleh pernikahan yang pertama ( pasal 279 KUHP) ancaman pidananya 5 tahun.

Sementara, Vitri Savitri menjelaskan jika dalam proses perceraian masih ada utang, maka utang ditanggung bersama dan harta lainya dibagi. (red)