KORANNTB.com – Pemilihan Umum 2019 adalah pemilu yang pertamakali dalam sejarah memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Ini menjadi pemilu paling berat bagi penyelenggara. Seperti dikutip dari kompas.com, ada sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 petugas jatuh sakit. Penyebabnya karena kelelahan.

Presiden Jokowi mengatakan, para korban ini adalah pejuang demokrasi. Mereka tidak boleh dilupakan.

Dalam pemilu tersebut, masyarakat Indonesia terpecah. Ada yang dikubu Prabowo Subianto dan ada di kubu Joko Widodo.

Tahun kelabu itu juga menjadi tahun paling masif beredarnya disinformasi, misinformasi dan malinformasi. Hoax tumbuh dan berkembang begitu cepat. Bahkan tokoh politik juga ikut ‘mengkampanyekan’ hoax. Sebut saja Ratna Sarumpaet.

Pemilu 2019 juga melahirkan banyak masyarakat yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Bahkan sebagian besar hoax yang disebarkan menjurus soal sara dan kecurangan pemilu.

Aksi demo 22 Mei 2019 juga pecah di Jakarta. Kerusuhan pecah di Sarinah Jakarta Pusat. Massa melampiaskan kekecewaan terhadap hasil pemilu 2019. Dalam tragedi tersebut, enam orang tewas dan lebih dari 400 orang ditangkap.

Kepolisian sejak 21 hingga 25 Mei memberlakukan status siaga satu untuk mengantisipasi huru hara tersebut.

Bagaimana dengan pemilu 2024? Hampir sama dengan sebelumnya, KPU, pemerintah dan DPR telah menyepakati pemilu 2024 serentak pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI pada 14 Februari 2024.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah menilai jika pemilu masih serentak, ini hanya mencetak jumlah korban jiwa lagi.

“Kami mendorong agar jadwal pemilunya jangan dibikin serempak, meskipun mungkin beberapa sudah diputuskan. Tapi kami khawatir, pesta rakyat ini menjadi pesta kematian yang seperti di 2019. Kami anggap, pemilunya sangat mencederai oleh meninggalnya begitu banyak petugas,” katanya seperti dikutip dari timesindonesia.com.

Dia mengingatkan banyak KPPS yang meninggal akibat kelelahan pada pemilu 2019. Seharusnya pemerintah berkaca dari peristiwa tersebut.

“Jangan sampai, kita menyelenggarakan pemilu lagi yang bukan merupakan pesta rakyat, tetapi merupakan prosesi seperti prosesi pembunuhan begitu. Banyak orang meninggal pada acara itu,” ujarnya.

Memang KPU sendiri telah mengubah batas usia maksimal 50 tahun bagi petugas KPPS untuk mencegah korban berjatuhan. Namun ini bukan tidak mungkin tetap akan memakan korban jiwa.

Belum lagi soal literasi masyarakat Indonesia yang masih mudah percaya hoax menjadi sangat bahaya terhadap masuknya arus misinformasi, disinformasi dan malinformasi. Sosialisasi mencegah hoax sudah seharusnya didapatkan masyarakat.

Kerawanan lainnya adalah ketegangan politik identitas. Bahkan sebelum pencalonan mulai muncul kubu-kubu pendukung Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang mulai aktif saling menanggapi di media sosial. Patroli siber perlu diperkuat. Masyarakat perlu mendapat edukasi. (red)

Foto: ilustrasi