KORANNTB.com – Pemprov NTB terus melakukan skema kerjasama pengelolaan asset daerah seluas 65 Hektare di Gili Trawangan, Lombok Utara.

Kepala UPT Tramena Dr. Mawardi, mengatakan seluruh tahapan prosesnya dilaksanakan sesuai prosedur dan aturan hukum yang ada.

“Semua dilakukan secara prosedural dan taat azas hukum,” katanya, Rabu 15 Maret 2023.

Mawardi menjelaskan, berdasarkan inventarisir tim Satgas di tahun 2021 – 2022 tercatat sedikitnya ada sebanyak 722 entitas atau masyarakat yang mendiami di lahan 65 Hektar milik Pemprov NTB.

Dari 722 yang sudahmengajukan permohonan itu sebanyak 438, dan yang belum mengajukan permohonan 284.

Dari yang mengajukan permohonan ini sudah terbit 224 perjanjian, jadi 224 masyarakat yang bersedia bekerjasama dengan Pemprov NTB dan sudah di SK kan.

“Bagi yang belum, kita buka keran untuk melakukan permohonan bagi masyarakat yang belum dijaring, oke kita siapkan formulir permohonan untuk mengajukan kerjasama ke Pemprov NTB,” katanya.

Dijelaskan, dari saat ini Pemprov NTB masih memproses sekitar 114 kerjasama.

“Dalam proses ini mereka harus lengkapi berkas, dokumen dokumen,  supaya tidak ada permasalahan di kemudian hari,” katanya.

Mawardi membantah isu yang menyebutkan Pemprov NTB menjual asset ke WNA. Menurut dia semua kerjasama yang diterbitkan dengan skema HGB dan bukan SHM.

“Saya perlu luruskan isu yang berkembang ini. Karena tidak akan bisa terbit SHM di atas tanah negara. Apalagi untuk WNA. Isu itu tidak benar,” katanya.

Dijelaskan, dulunya WNA membayar ganti rugi ke oknum masyarakat lokal untuk membangun usaha, di zaman PT GTI. Tapi begitu putus kontrak GTI tanah ini balik ke Negara. Saat itu WNA ini maunya dia langsung ke Pemprov tidak dengan masyarakat.

“Inilah sebenarnya konfliknya di situ. Yakni masih terikatnya warga dengan WNA. Tertundalah pembayarannya atau karena mereka mengambil bayaran melebihi tahun yang sedang berjalan. Inilah masalahnya sengketa bisnis. Ada permasalahan bisnis antara warga lokal dengan warga asing yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah,” katanya.

Menurutnya, sebenarnya tindakan oknum warga yang menyewakan asset pemerintah ke WNA adalah melanggar hukum, karena lahan itu merupakan asset Pemda NTB.

“WNA ini juga ada yang telah mengganti rugi ke warga lokal hingga akhirnya dia lah yang mendiami di tempat itu. Kalau kita bicara hukum kan artinya ini salah warga lokal, kok WNA sampai mengganti rugi tanah negara. Selain itu WNA juga mengganti rugi kepada masyarakat lokal bahkan ada model jual beli, kami ada bukti buktinya, siapa yang pernah mendapatkan ganti rugi terhadap lahan,”katanya.

Hal itu lah yang menurut dia menyebabkan WNA hadir di situ, karena mereka mengganti rugi ke masyarakat lokal atas lahan yang ditempati itu.

“Mereka akhirnya bangun usaha hingga hari ini, jadi adil kan karena mereka membayar pajak. WNA juga terikat perjanjian dengan warga lokal. Kan perjanjiannya masih berjalan. Jadi wajar dia di situ. Nah yang mendapatkan perjanjian kerjasama itu, adalah mereka yang pernah ganti rugi ke masyarakat lokal,” katanya.

Dia mengatakan, skema kerjasama yang dilakukan Pemprov NTB sejatinya untuk memberikan kepastian hukum dan keamanan berinvestasi di Gili tersebut.

Sebab, berdasarkan inventarisir sebelumnya, yang menempati asset Pemprov di lahan seluas 65 hektare itu banyak juga yang KTPnya dari luar NTB, seperi Yogyakarta, Jakarta, dan Bali.

Belum lagi, papar dia, ada segelintir orang yang menguasai lahan cukup besar.

“Kalau kita mau urai semuanya ada 220 kapling hanya dikuasai oleh 94 orang. Luasnya kurang lebih 156.163 meter persegi atau sekitar 15 hektare,” katanya.

Ia menduga penolakan hadir dari kubu yang menempati lahan luas ini.

“Jadi ini yang menjadi permasalahan kita, siapa kok bisa menguasai banyak. Ini data kami sementara 94 orang menguasai kurang lebih 15 hektar. Ada apa ini kan?.
Luas aset kami ini 65 hektar. Fasilitas Umum (Fasum) 11 persen. 71 persen sudah diami 18 persen belum terdata, ada lahan kosong. Yang tidak berimbang ini sebenarnya 94 orang menguasai 15 hektar,” tegasnya.

“Mungkin ini yang menolak karena kaplingnya banyak, kami punya data.  Saya ingin tegaskan semua kita boleh melaukan aksi, tetapi tuntutan masyarakat, saya tegaskan tidak bisa SHM. Pemprov berikan HGB dengan kewajiban membayar retribusi ke Pemprov NTB bukan ke perorangan atau siapa pun. Jadi siapapun berhak bekerjasama dengan Pemprov NTB. Jadi apa solusinya? sertifikat HGB selama 80 tahun. Itu solusinya,” katanya.

Ia mengimbau masyarakat yang belum mengajukan permohonan kerjasama agar mengajukan permohonan kerjasama untuk selanjutnya diproses agar mendapatkan alas hak yang pasti berupa sertifikat HGB.

“Untuk masyarakat yang ajukan SHM. Dengan segala hormat, karena aturan hukum tidak membolehkan, maka kami tidak bisa berikan SHM di atas tanah milik Negara. Kenapa ? karena pemulihan aset ini di atensi oleh KPK, Kejati, Kepolisian, Kementerian Investasi  bahkan menteri sudah datang ke gili. Yang bisa diberikan ke masyarakat adalah Serifikat HGB,” ujarnya. (red)