Menjamurnya Kasus ITE di NTB di Tengah Pembahasan Revisi
Waktu Baca: 8 Menit
KORANNTB.com – Kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi tren. Aksi saling lapor menggunakan ITE sering dijumpai pertengahan tahun 2022 hingga awal tahun 2023 ini.
ITE menjadi senjata pamungkas personal untuk melampiaskan kekesalannya terhadap orang yang dianggap memiliki masalah dengan pelapor. Ditambah lagi Aparat Penegak Hukum (APH) yang terkesan membuka “karpet merah” terhadap pelapor ITE menjadi pemantik setiap orang dengan leluasa melaporkan orang lain dengan sarana pasal karet ITE ini.
Awal tahun 2023, sedikitnya yang populer di media sosial adalah lima kasus pelaporan menggunakan pasal-pasal dalam ITE. Hampir semua pasal menggunakan Pasal 27 ayat (3) terkait pencemaran nama baik.
Sebut saja Kades Ungga di Lombok Tengah yang melaporkan warganya yang berunjukrasa menggunakan Pasal 27 ayat (3), Rangga Babuju yang melaporkan tiga akun Medsos dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) karena menyerang pribadinya, Pengusaha Tampah Hills di Lombok Tengah yang melaporkan pengeritiknya karena mengeritik di media massa, lagi-lagi menggunakan Pasal 27 ayat (3).
Ada juga kader dan simpatisan Perindo Lombok Timur yang melaporkan akun WhatsApp dan tokoh politik Izzul Islam yang melaporkan dua warga menggunakan pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45 a ayat (2).
Anggota SAFEnet NTB, Rudy Lombok menilai fenomena saling lapor dengan sarana ITE menjadi kebiasaan buruk yang sangat menakutkan yang merasuki warga di NTB.
“Ini sangat menakutkan sekali. Gampang sekali warga kita sekarang pidanakan orang menggunakan ITE. Ini sangat menakutkan,” katanya, Jumat, 7 April 2023.
SKB Tidak Berlaku
Rudy mengatakan, meskipun telah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri sebagai pedoman impementasi UU ITE yang harus dipatuhi masyarakat dan aparat penegak hukum, namun nyatanya itu tidak berlaku di NTB.
“Kita bisa lihat dari kasus-kasus ITE yang naik (penyidikan), hampir semuanya tidak mengacu pada SKB. Sekaliber keputusan Kapolri penyidik di sini tidak pedulikan,” ujarnya.
Kesan ramahnya warga NTB dinilai mulai punah dengan aksi main lapor. Padahal ada the living law atau nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang dapat digunakan dengan memprioritaskan duduk bersama menyelesaikan persoalan tersebut dengan melibatkan lembaga adat sebelum melapor ke polisi.
“Kita punya nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang bisa kita gunakan ketimbang harus saling lapor. Upaya duduk bersama sepertinya sudah putus di era saat ini,” ujar pria berkumis itu.
Ultimum Remedium
Pendapat Rudy ada benarnya, mengingat arus saling lapor dengan sarana ITE semakin menguat. Apalagi pasal yang dominan cendrung adalah masalah pencemaran nama baik pelapor. Padahal kasus seperti itu idealnya menggunakan prinsip ultimum remedium, atau hukum pidana menjadi upaya terakhir setelah menggunakan jalur-jalur lainnya.
Menteri Kehakiman Belanda, Modderman menegaskan untuk kasus-kasus hukum pidana, terutama dalam tindak pidana pencemaran nama baik, restorative justice dapat dilakukan sebagai langkah awal dalam menyelesaikan sebuah kasus.
Revisi Kedua ITE
Saat ini tengah berlangsung pembahasan revisi kedua UU ITE di DPR. Publik dilibatkan dalam revisi tersebut melalui Koalisi Serius terdiri dari 26 organisasi masyarakat sipil seperti; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Southeast Asian Freedom of Expression Network (Safenet), Amnesty International Indonesia, The Institute for Criminal Justice Reform, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH APIK, dan lainnya.
Setidaknya telah ada tujuh usulan pemerintah terkait revisi tersebut. Masing-masing yaitu:
- Perubahan terhadap ketentuan ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) dari Pasal 27 mengenai kesusilaan, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman dengan merujuk pada ketentuan KUHP;
- Perubahan ketentuan Pasal 28 sehingga hanya mengatur ketentuan mengenai berita bohong atau informasi yang menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen;
- Penambahan ketentuan Pasal 28A di antara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai konten suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dan pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat;
- Perubahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan (cyber bullying);
- Perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain;
- Perubahan ketentuan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan denda serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas penyalahgunaan pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 ayat (1); dan
- Perubahan ketentuan pasal 45A terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Namun revisi tujuh pasal itu tidak cukup. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menilai UU ITE sebaiknya direvisi secara total, tidak hanya beberapa pasal saja.
“DPR harusnya bisa melihat bahwa usulan dari Kominfo adalah usulan yang sudah tidak tepat lagi untuk dibicarakan dan harusnya menggunakan kesempatan ini untuk melakukan revisi total atau revisi menyeluruh tentang keberadaan UU ITE, alih-alih Komisi 1 hanya berpegang pada usulan yang ada dalam rancangan perubahan yang kedua dari Kominfo,” ujar Damar kepada CNNIndonesia.com.
Wirya Adiwena dari Amnesty International Indonesia menyebutkan sejumlah masalah yang membuat revisi UU ITE membutuhkan kajian lebih mendalam terutama dalam perspektif pelindungan HAM, termasuk kebebasan berekspresi.
“Di tengah komitmen perubahan kedua revisi UU ITE, ada banyak proses legislasi yang terus mengalami perubahan. Adanya pengesahan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi bagian kecil bahwa UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (1) UU ITE sudah tidak relevan,” kata Wirya saat berbicara dalam RDPU.
Begitu pun kehadiran UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Pada akhir 2022, rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) turut juga disahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Baru) dan ketentuan peralihan mengatur agar KUHP Baru ini mulai berlaku pada Januari 2026.
Pentingnya Revisi Total
Koalisi masyarakat sipil menilai ada beberapa alasan penting untuk merevisi UU ITE. Pertama, ada situasi legislasi yang memberikan dampak serius yang perlu diperhatikan terhadap revisi kedua UU ITE, khususnya banyak pasal yang perlu diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Kedua, pentingnya memperhatikan substansi pengaturan informasi dan transaksi elektronik dalam alam demokrasi. Ketiga, perlunya pengaturan khusus agar tidak terjadinya upaya kriminalisasi terhadap korban.
“Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang keduanya mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo adalah bukti bahwa pemerintah dan DPR mengakui ada masalah dalam UU ITE. Karena itu, revisi kedua UU ITE ini adalah momentum untuk merevisi total pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE,” kata dia.
Terlebih, berdasarkan catatan kajian Koalisi, materi muatan yang diatur dalam UU ITE sepenuhnya mengabaikan beberapa aspek. Di antaranya tidak memenuhi asas legalitas hukum pidana; tidak menjangkau pengecualian untuk kondisi overmacht dan noodweer excess kepada korban kriminalisasi dan rumusan norma UU ITE membuka ruang diskriminatif dan melanggengkan pelanggaran HAM.
“Mendorong DPR RI membahas Revisi Kedua UU ITE tidak hanya melalui Komisi I tetapi dengan melibatkan banyak sektor, seperti komisi hukum, komisi yang membahas isu perempuan, kebebasan berekspresi, konsumen, dan isu-isu HAM lainnya. Hal ini penting agar revisi kedua UU ITE bisa mengakomodasi lebih banyak kepentingan,” kata Wirya.
Hambatan Kebebasan Pers
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas menyoroti sejumlah pasal dalam UU ITE yang mengancam kebebasan pers. Kebebasan pers sejatinya telah dijamin secara khusus melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Salah satu bagian yang diatur dalam UU ini adalah mekanisme sengketa pemberitaan melalui hak jawab, hak tolak, dan pengaduan ke Dewan Pers.
“Namun, terbitnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik pada tahun 2018 yang direvisi pada 2016 memuat sejumlah pasal yang menjadi hambatan bagi kebebasan pers tersebut. Hambatan terjadi karena, sejumlah pasal tersebut memuat rumusan yang longgar sehingga dapat menjerat ruang lingkup karya jurnalistik dan kedua karena implementasi pada penegakan hukum yang tidak memahami UU Pers dan mekanisme sengketa pemberitaan,” kata Ika.
Ada sejumlah pasal yang bermasalah dan mengancam kebebasan pers. Pertama, Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Pasal ini telah dimuat di KUHP baru sehingga berpotensi menimbulkan duplikasi dan ketidakpastian hukum. Pasal ini kerap digunakan sebagai instrumen balas dendam atau membungkam jurnalis dan narasumber.
“Bukan hanya yang terkait pada karya jurnalistik maupun jika karya jurnalistik tersebut diedarkan melalui media sosial. Pasal ini menghalangi ekspresi sah yang dikeluarkan atas kepentingan umum karena tidak mengenal pengecualian serta membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat,” kata Ika.
Ika mencontohkan beberapa kasus pemidanaan jurnalis dengan pasal ini. Salah satunya adalah kasus jurnalis Berita.news, Muhammad Asrul, yang divonis tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan, 23 November 202. Asrul dianggap melanggar Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE padahal Dewan Pers menyimpulkan karyanya adalah produk jurnalistik.
“Pasal ini juga digunakan untuk menjerat narasumber. Salah satunya S, seorang ibu yang kedua putrinya menjadi korban pemerkosaan; serta Safrin Salam dari Yayasan LBH Amanah Peduli Kemanusiaan, yang dilaporkan ke polisi setelah mengungkap kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh orang berinisial A kepada media,” kata Ika.
Pasal berikutnya yang mengancam kebebasan pers adalah Pasal 28A ayat (1) tentang hasutan, ajakan dan mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA.”
Salah satu contoh penggunaan pasal tersebut untuk menjerat jurnalis adalah kasus jurnalis Banjarhits.id/Kumparan.com Diananta Putra Sumedi. Dia divonis penjara 3 bulan 15 hari oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru pada 10 Agustus 2020 karena dianggap bersalah menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA setelah mempublikasikan berita berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel.
Pasal lain yang berbahaya adalah Pasal 28A ayat (2) yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.”
Ketentuan pemberitahuan bohong dapat menyasar produk jurnalistik mengingat dalam dua tahun terakhir sejumlah karya jurnalistik dilabeli hoaks oleh Polri. Di antaranya berita Kompas.id berjudul Kehabisan Oksigen, 63 Pasien di RSUP DR. Sardjito Meninggal dalam Sehari pada 4 Juli 2021 dan serial laporan #PercumaLaporPolisi dari Projectmultatuli.org yang dilabeli sebagai hoaks oleh polisi. (red)