KORANNTB.com – Dalam rangka percepatan penyelesaian berbagai permasalahan di kawasan transmigrasi NTB, Disnakertrans Provinsi NTB mengadakan Rapat Koordinasi dan Konsultasi Percepatan Penyelesaian Sertifikat Hak Milik (SHM) Tanah Transmigran Tahun 2023 secara daring, Rabu, 4 Oktober 2023.

Kegiatan rapat ini dihadiri oleh Direktur Pengembangan Satuan Permukiman dan Pusat Satuan Kawasan Pengembangan (PSPPSKP) Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, BPN provinsi NTB, DLHK Provinsi NTB, Kanta Kabupaten, dan Dinas Provinsi/ kabupaten yang menangani Ketransmigrasian.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTB, I Gede Putu Aryadi, dalam sambutan pembukaannya mengungkapkan bahwa penyelenggaraan program transmigrasi memiliki tujuan yang mulia sebagaimana di amanatkan oleh UU No. 29 tahun 2009 yaitu meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

“Ini juga merupakan salah satu upaya pemerintah untuk percepatan pembangunan kota-kota kecil terutama di luar pulau Jawa, untuk meningkatkan perannya sebagai motor penggerak pembangunan daerah,” ujar Aryadi.

Dalam perwujudannya para transmigran di berikan bidang tanah dengan status Hak Milik berserta rumah untuk tempat tinggal, usaha dan perangkat lainnya sebagai penunjang hidup di lokasi tinggal yang baru.

Sayangnya, masih banyaknya masalah penyediaan tanah transmigrasi antara lain tunggakan SHM Transmigran, tunggakan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL), lokasi permukiman transmigrasi berada di Kawasan hutan, dan tuntutan transmigran atas kekurangan lahan serta “reclaiming” tanah oleh penduduk sekitar yang perlu diselesaikan.

“Salah satu permasalahan di NTB yg sampai saat ini belum bisa diselesaikan contohnya di Sori Panihi Bima, di Puncak Jeringo Lotim, termasuk di Tongo Kab. Sumbawa Barat,” ucap Aryadi.

Permasalahan di kawasan-kawasan ini terkait dengan sertifikat hak milik belum clear dan clean. Penyebabnya karena ada lahan yang masih bersentuhan dengan kawasan hutan lindung, dan ada juga karena tumpang tindih lahan dan miss informasi.

Selain ada tumpang tindih lahan dan lahan yang masuk kawasan hutan, ada juga permasalahan yang bersumber dari warga Transmigrasi sehingga statusnya sebagai transmigran dibatalkan seperti memindahtangankan lahannya, meninggalkan lahannya, tidak mengelola aset produksi bantuan pemerintah, melalaikan kewajiban sebagai transmigran, dan menelantarkan tempat tinggal / fasilitas yang telah diberikan.

Selain itu ada juga masalah lain yang terjadi di hulu pada saat pendataan. Dari data, ada tanah yang seharusnya diberikan ke warga transmigran tapi faktanya tanah tersebut ternyata sudah dikuasai pihak lain. Contohnya yang terjadi di kawasan transmigrasi Lombok Tengah di batu jangkih, mekar sari, dan puncak jeringo.

“Syurkurnya baru-baru ini di Puncak jeringo sudah dilakukan identifikasi kepemilikan lahan. Kemarin kami sudah berkoordinasi dengan pemdes, pemkab, dan warga setempat, sehingga sudah mulai terlihat kedudukan tanahnya, luasan lahannya, dan kepemilikan masing-masing. Semoga tahun ini bisa diberikan sertifikat hak milik lahan usaha,” ucap Aryadi.

Karena itu menurut Aryadi seharusnya permasalahan tidak diselesaikan di ujung saja, tapi juga harusnya dari hulu. Permasalahan dalam penyelesaian Hak Milik Tanah Transmigran berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Dinas/ Bidang ketransmigrasian, kehutanan maupun Bidang Pertanahan di Daerah. Sehingga dalam mencari solusi terhadap permasalahan tersebut diperlukan pembahasan secara terkoordinasi antara unit kerja terkait baik pusat maupun daerah.

“Masalahnya, permasalahan ini banyak yang sudah lama terjadi, sehingga banyak data yang tidak lengkap. Karena itu kami berharap koordinasi antar lintas sektor harus dibangun dengan konsep persuasif dan prinsip menyelesaikan dengan cara terbaik, bermusyawarah, dan mengutamakan fakta real di lapangan yang valid,” tutur Aryadi.

Menurut Aryadi, dengan adanya data yang valid, maka akan semakin mudah untuk melakukan pemetaan dan identifikasi masalah. Selama ini menjadi sulit karena koordinasi kurang maksimal.

“Contohnya di batu jangkih kemarin, berkat dialog bersama, dan setelah turun ke masyarakat mencari data faktualnya, baru kita bisa secara jernih menemukan solusi,” ucap Aryadi.

Terakhir Aryadi mengajak seluruh stake holder terkait mulai dari pemkot, pemkab dan pemdes untuk  mengedepan pendekatan persuasif melalui komunikasi, kolaborasi dan koordinasi sehingga bisa menyajikan data yang lengkap dan otentik, informasi yang update yang sesuai dengan kondisi di lapangan untuk dapat mengidentifikasi persoalan dengan jelas, membangun kesamaan persepsi, dan mendapatkan gambaran bagaimana menyelesaikan masalah tersebut.

“Sepanjang upaya kita tidak bertentangan hukum dan meninggalkan kepentingan dan konflik pribadi dan golongan, saya yakin kita akan mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik,” tutupnya.