KORANNTB.com – Zulkieflimansyah atau Bang Zul berkesempatan mencoba Kereta Cepat Jakarta Bandung (Whoosh) bersama sang istri. Bang Zul mencoba rute Jakarta ke Bandung kemudian balik lagi ke Jakarta.

Bang Zul kemudian menceritakan awal mula ide kereta cepat tersebut dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Namun banyak ekonom Indonesia justru menentangnya.

“Saya jadi teringat ketika masa awal Pak Jokowi menjabat jadi Presiden dan datang dengan ide membangun Kereta Cepat dari Bandung ke Jakarta,” katanya.

“Semua ekonom, ahli investasi dan ahli manajemen menolak dengan alasan tidak efisien, payback periodnya (pengembalian modal) lama dan nggak jelas dll,” ujarnya.

Bang Zul kemudian menjelaskan dirinya lah satu-satunya ekonom yang setuju ide Jokowi tersebut. Baginya itu merupakan sebuah ide yang brilian.

“Saya mungkin satu-satunya ekonom yang setuju saat itu dan berpendapat ini ide yang luar biasa dan brilian dari Pak Jokowi,” ujar dia.

Bang Zul menyoroti bahwa dia mempelajari ekonomi bukan sebatas ekonomi neoklasik atau neoclassical economics, yang hanya sebatas berpikir soal untung rugi atau keuntungan yang didapat sebuah perusahaan. Namun berpikir soal jangka panjang atau sudut pandang lain dalam sebuah pembangunan, seperti peningkatan kapasitas SDM maupun pengembangan teknologi.

“Ekonomi yang saya pelajari memang bukan ekonomi yang biasa dan mainstream yang rata-rata paradigmanya neoclassical economics, di mana investasi pemerintah sering dimaknai sempit sebatas hitung-hitungan angka dan pertimbangan untung rugi saja,” ujarnya.

Bang Zul mengatakan investasi pemerintah semestinya dimaknai luas, bukan saja bicara untung rugi, tetapi bicara bagaimana meningkatkan kapasitas manusia dan pengembangan teknologi.

“Investasi pemerintah mestinya dimaknai dalam konteks yang lebih luas. Hitung-hitungan financial (keuangan) dan payback period-nya (periode pengembalian modal) memang penting, tapi yang jauh lebih penting adalah memaknai investasi pemerintah sebagai upaya untuk upgrading human capacity and technological development (pengembangan SDM dan teknologi),” ujar dia.

“Selalu ada cost of learning (biaya belajar) dalam investasi yang padat teknologi seperti ini,” kata Bang Zul.

Langkah Jokowi dinilai sangat tepat tidak berpikir secara praktis untuk pembangunan, tetapi jangka panjang. Pengembangan teknologi pun patut dilakukan di sektor lainnya.

“Tinggal bagaimana ini kemudian ditransmisikan dalam pengembangan teknologi ke sektor-sektor yang lain sehingga investasi yang begitu besar dan mahal ini menemukan justifikasinya secara mendasar,” katanya.

Dia berharap BUMN di Indonesia bisa belajar dengan cepat dari investasi tersebut, sebagai bagian dari pengembangan SDM di Indonesia terhadap pengembangan teknologi saat ini.

“Dalam konteks kereta cepat ini, mungkin saja ROI nggak terlalu menjanjikan, tapi mestinya PT KAI, PT INKA dan BUMN-BUMN kita yang lain bisa belajar cepat dari investasi ini. Untuk kemudian mengaplikasikan hasil pembelajaran teknologinya ke produk-produk yang dihasilkan oleh BUMN-BUMN kita tadi,” katanya.

“Jadi ada proses reverse engineering (rekayasa terbalik) yang optimal yang menguntungkan banyak sektor produksi dan ekonomi kita yang lain. Investasi mahal ini harus menghadirkan konvergensi teknologi untuk pengembangan dan kemajuan sektor-sektor lain,” kata Bang Zul sembari mengingatkan tugas BRIN mengadvokasi itu, sehingga pemerintah tidak ‘digebuk’ cara pandang dari ekonom neoklasik.