Sejarah Covid-19 Masuk NTB, Lonceng Kematian itu Berbunyi
KORANNTB.com – Siang hari, Senin, 23 Maret 2020, terlihat pegawai di pendopo gubernuran mondar mandir mempersiapkan segala keperluan konferensi pers.
“Itu bawa ke sini!” ujar salah seorang pegawai meneriaki rekannya agar membawa satu kursi lagi di depan.
Beberapa kepala dinas telah tiba, akan mendampingi kepala daerah bertatap muka dengan awak media.
Sebelum konferensi pers digelar, para wartawan sudah menebak-nebak apa yang akan disampaikan Gubernur NTB. Di kepala para kuli tinta ini sudah menebak ini akan menjadi hari bersejarah. Pengumuman pasien Covid-19 (saat itu dikenal Corona) pertama di NTB.
Salah seorang Kadis juga telah membocorkan informasi pasien Covid-19 pertama, berasal dari Lombok Timur. Pemilik sebuah pondok pesantren yang saat itu tengah diisolasi petugas medis.
Sinar matahari mulai memudar, tanda waktu sore sudah tiba. Namun Konferensi pers tidak kunjung digelar. Semua di ruangan kebingungan, kenapa lama sekali digelar? Apa ada penambahan pasien lagi?
Beberapa menit berselang, disampaikan pengumuman bahwa konferensi pers ditunda. Awak media menggerutu. Ada beberapa juga yang memaksa kadis menjawab di luar konferensi pers. Namun tentu saja tidak diberi jawaban.
Memang benar bahwa konferensi pers tersebut akan mengumumkan pasien pertama Covid-19. Namun, saat itu hasil test harus dikirim ke Jakarta sehingga memerlukan waktu cukup lama untuk mengetahui hasilnya. Sayangnya saat itu, Jakarta belum mengumumkan hasil test. Konferensi pers ditunda hingga Jakarta mengeluarkan hasil.
Baru pada Selasa, 24 Maret 2020, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah mengumumkan pasien pertama Covid-19 di NTB. Seorang perempuan berinisial Y (50 tahun) yang memiliki pondok pesantren di Aikmel Lombok Timur. Dia diketahui merupakan pasien dengan klaster Jakarta.
Klaster Jakarta menjadi klaster awal penularan Corona. Di Indonesia sendiri, Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020 mengumumkan pasien pertama Covid-19 di Indonesia yakni seorang perempuan berusia 31 tahun bernama Sita Tyasutami (pasien 1) dan ibunya yang berusia 64 tahun Maria Darmaningsih (pasien 2).
Hari-hari paling panjang
Sejak mulainya masuk pandemi di NTB, satu persatu warga mulai terpapar corona. Ambulan mondar mandir ke sana kemari. Ini menjadi cobaan kedua warga NTB pasca gempa 2018.
Tidak hanya klaster Jakarta, muncul juga banyak klaster baru yang membawa virus cukup aktif. Ada klaster Sukabumi yang dibawa anggota polisi, dan yang paling aktif adalah klaster Gowa yang dibawa jamaah tabligh asal NTB yang baru pulang dari Gowa. Tercatat ada sekitar 700 orang.
Banyak orang mulai dari aktivis, politisi, dosen hingga dokter mendesak Gubernur NTB melakukan lockdown. Sudah waktunya lockdown, kematian sudah diambang pintu.
Perdebatan hebat terjadi di mana-mana antara pihak yang menginginkan lockdown dan pihak berpikir lockdown justru memperburuk NTB dari sisi ekonomi.
Gubernur NTB pun memilih untuk tidak gegabah memberlakukan lockdown. Alasannya cukup masuk akal, meskipun tidak melakukan lockdown, toh juga pesawat maupun kapal yang masuk di NTB telah berkurang karena pembatasan aktivitas saat pandemi.
Baru beberapa lama berselang, kebijakan karantina wilayah dilakukan. Wilayah yang masuk zona merah Covid-19 akan dikarantina. Pintu-pintu masuk antara kabupaten di NTB mulai dijaga ketat personel kepolisian dan tim medis. Namun sayang, saat itu senjata pendeteksi pandemi hanya berupa thermo gun, benda menyerupai pistol yang ditempel dekat kening untuk mengecek suhu tubuh manusia. Jika suhu tubuh tinggi, patut diduga terpapar Covid-19, sehingga memerlukan tindakan rapid test.
Hari-hari cukup melelahkan telah tiba. Para perawat “berteriak” kelelahan. Banyak pasien Covid-19 yang tiba. Mereka kekurangan alat pelindung diri. Sisi lain mereka juga manusia yang bisa terpapar kapan saja. Mereka tidak boleh pulang, harus dikarantina jauh dari orang-orang tercinta.
Berita pun muncul banyak perawat dan dokter yang tumbang terkena Covid-19 di NTB. Sementara di Indonesia, satu persatu dokter dan tim medis lainnya telah gugur menghadapi perang melawan virus.
Di luar sana, masyarakat mulai mengeluh masker menjadi langka. Banyak penimbunan terjadi. Hari-hari cukup sulit dialami. Begitu masker terjual di ritel modern, dengan sekejap telah habis dibeli. Dari sana muncul inisiasi dari aktivis untuk memesan masker kain di UMKM warga dan membagi secara gratis ke masyarakat, ke pengguna jalan.
Kami Lapar, Tuhan…
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah dilakukan saat Covid-19 di NTB sedang naik. Tidak ada bekerja secara tatap muka. Muncul istilah work from home (WFH). Semuanya bekerja dari rumah, kecuali petugas-petugas yang diharuskan menjadi pekerja lapangan.
Banyak pedagang yang harus dipaksa berhenti berdagang untuk sementara. Tidak boleh sembarang keluar rumah tanpa keperluan yang mendesak. Ekonomi betul-betul lumpuh. Warga mulai lapar.
Ada seorang tukang ojek di Narmada, Lombok Barat harus menjual televisi yang sering digunakan anaknya untuk menonton hiburan. Dia lelah berkeliling mencari pembeli di tengah situasi sulit tersebut. Berusaha menghindar razia dengan membawa tv tuanya, dan melesat kabur menghindari aparat. Itu semua hanya demi membeli beras untuk menghidupi anak dan istrinya.
Hari-hari kelabu itu banyak ditemui di mana-mana. Masyarakat kelas bawah yang menjadi pekerja harian paling terpukul. Putus asa!
Banyak sekali pekerja hotel dirumahkan. Pengusaha kesulitan untuk menggaji mereka di tengah situasi saat itu. Frustasi di mana-mana, wajah-wajah lusuh di mana-mana. Angka kekerasan dalam rumah tangga naik karena faktor ekonomi.
Gerakan Suci…
Kondisi seperti saat itu tidak bisa hanya mengandalkan negara semata. Perlu kesadaran bersama untuk membantu masyarakat yang terdampak. Muncul banyak gerakan sukarela di jalanan yang datang dari warga untuk membantu warga lainnya.
Ada mobil milik warga berisi nasi bungkus yang dibagikan gratis untuk warga. Ada juga aktivis dan mahasiswa mulai menyambangi para pemulung, gelandang, penyapu jalan untuk berbagi sembako.
Ada juga orang yang diam-diam melepas paket beras, sayur, ikan dan sembako lain di rumah-rumah warga yang sedang diisolasi mandiri.
Lembaga bantuan sosial seperti ACT terjun ke tempat-tempat tak tersentuh menyebar bantuan kemanusiaan.
Pemprov NTB mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang dalam bentuk sembako untuk membantu warga. Uniknya, seluruh paket sembako dibeli dari hasil UMKM di NTB.
Wajah NTB yang muram perlahan-lahan mulai berubah tersenyum. Ada secercah “cahaya surga” yang mendorong untuk bangkit kembali.
Tukang ojek di Narmada yang menjual televisi mulai tersenyum mendapatkan bantuan. UMKM yang semula dilarang berjualan mulai menawarkan produk mereka dibeli Pemprov untuk JPS Gemilang.
Gerakan suci itu membawa NTB menemukan titik balik untuk bertahan hidup. NTB mulai bangkit kembali dan beberapa tahun berselang benar-benar pulih.
Hingga 1 September 2022 warga NTB terkonfirmasi Covid-19 berjumlah 36.228 orang. Yang sembuh berjumlah 35.308 orang. Meninggal sebanyak 901 orang dan masih dirawat sebanyak 19 orang.