Dr. Sumerah, MH (Dosen Hukum Universitas Bumi Gora)


Cerita panjang pengelolaan Hutan Sekaroh RTK 15 dimulai belasan tahun lalu. Sekitar 2013, saat pertama kali kesepakatan pemberian Izin Usaha Pengelolaan Wisata Alam-Hutan Produksi diberikan pemerintah kepada investor asing asal Swiss.

Pada sebuah kanal media investor asing itu menyebut diri sudah puluhan tahun lebih berinvestasi di lahan hutan RTK 15 Sekaroh. Pertanyaannya benarkah investasi itu nyata atau hanya di atas kertas? Dari informasi yang tersebar saya menduga investasi tersebut hanya “investasi di atas kertas”. Investasi sekedar administratif semata.

Belasan tahun sudah mengantongi izin usaha tetapi aktivitasnya hanya menjaga hutan. Bahkan mungkin hanya klaim kawasan hutan. Faktanya tidak sesuai dengan dokumen yang dikantongi. Meminjam istilah Ali Bin Dahlan: investor akan-akan.

Narasinya akan berinvestasi tapi kenyataannya hanya opini dan negosiasi. Situasi ini sejak lama pernah diungkapan seorang filsuf Yunani, dari filsafat Stoikisme, Marcus Aurelius: segala yang kita dengar adalah opini, bukan fakta. Segala yg kita lihat adalah perspektif bukan kebenaran.

Sejak puluhan bahkan belasan tahun sudah berlalu, izin usaha pengelolaan jasa wisata alam Sekaroh dikantongi. Tetapi apa yang kita dengar tetang investasi tak pernah menjadi fakta dan apa yang kita lihat tetang dokumen investasi sampai groundbreaking yang dipamerkan tidak lebih dari suatu proses menciptakan perspektif bukan kebenaran.

Demikianlah penomena investasi asing yang dibanggakan. Harapan akan menjawab penciptaan lapangan pekerjaan yang minim, mengentaskan kemiskinan yang menganga, mengurangi angka pengangguran yang terus bertambah hanya ilusi dari janji-janji investasi.

Justru yang muncul kemudian adalah konflik sosial baru dari aktivitas investasi. Pelanggaran HAM meningkat. Komunitas-komunitas adat terpinggirkan. Ruang-ruang mata pencahrian masyarakat menyempit. Kadang-kadang masyarakat diusir atas nama hukum dan konstitusi. Hanya karena di batalkan dokumen alas hak yang mereka miliki oleh alat negara. Padahal keberadaan mereka jauh lebih dulu ketimbang investasi yang bercokol mengelola kawasan hutan tersebut.

Investasi tidak ubahnya seperti VOC yang datang mencari rempah-rempah, berdagang tetapi membawa bedil dan mesiu. Begitulah investasi di lakukan di masa lalu.

Saat ini serikat dagang datang dengan nama dan istilah baru. Investasi atau penanaman modal asing (PMA). Padahal praktiknya tidak jauh beda dengan serikat dagang VOC di era kolonialisme abad ke 19. Investasi atau PMA sekarang ini lebih regulatif. Secara konsep investasi diatur dalam Undang-Undang penanaman modal. Artinya dari aspek bisnis investasi harus memenuhi persyaratan yang di atur dalam peraturan perundang-undangan. Karena investasi harus di kelola sebaik mungkin guna menghasilkan keuntungan untuk di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Investasi sebagai aktivitas bisnis baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing merupakan kegiatan yang merujuk pada kontistusi Pasal 33 UUD 1945 sebagai basis fundamental lahirnya instrumen investasi.

Pada konteks investasi yang ada sekarang ini baik pada jenis usaha tambang, energi, infrastruktur, jasa dan pariwisata seperti yang terjadi pada hutan sekaroh sebagai jenis usaha jasa wisata alam tentu investasi yang di harapkan adalah penciptaan ekowisata sebagai bisnis dan sekaligus pemilaharaan lingkungan sebagai bagian dari ekosistem bisnis yang berkelanjutan yang akan di bangun.

Jelas pada sektor wisata alam Sekaroh sebagai objek investasi asing yang sedang berlangsung saat ini akan mampu menciptakan lapangan kerja dan penerimaan negara bukan pajak alias PNBP. namun sampai saat ini kenyataan yang ada ke permukaan adalah konflik dengan masyarakat sekitar lingkar hutan.

Pertanyaannya sejak belasan tahun lalu mengantongi izin usaha-sudah berapa banyak kontribusinya terhadap PNBP untuk negara? Pertanyaan itu krusial untuk dijawab. Bahkan pemerintah harus terbuka kepada publik terkait kontribusi perusahaan asing yang mengelola Hutan Sekaroh selama belasan tahun sehingga layak untuk dipertahankan izinnya mengelola jasa wisata alam-hutan produksi Sekaroh.

Namun jika kontribusi dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau dalam bentuk yang lain yang berkontribusi langsung terhadap pendapatan negara tidak ada, maka patut kita pertanyakan eksistensi perusahaan asing tersebut masih melakukan aktivitas pemanfaatan alam Sekaroh. Atau kita harus lebih kritis menilai bahwa: jangan-jangan investor asing yang mengelola wisata alam sekaroh RTK 15 sebenarnya hanya bumper bagi aktor lain yang sifatnya lebih personal sesungguhnya sedang menguasai lahan Hutan Sekaroh?.

Keseriusan investasi

Berdasarkan peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan nomor P. 31/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang pedoman kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam pada hutan produksi menjelaskan bagi perusahaan yang mendapat izin IUPJLWA, pada bab VI pasal 22 bagian kedua tetang kewajiban pemegang IUPJLWA pada point (e) untuk merealisasikan pembangunan sarana wisata alam sesuai dengan rencana kerja usaha tahunan yang telah di sahkan paling lambat enam (6) bulan setelah IUPJLWA-HP diterbitkan. Artinya investor harus sudah melakukan pembangunan sarana penunjang usaha sejak belasan tahun lalu di dalam wilayah area RTK 15 sekaroh sebagai objek investasi. Tetapi sampai detik ini investor hanya sekedar melakukan kegiatan simbolis groundbreking saja.

Melihat fakta yang ada sesungguhnya perusahaan yang melakukan investasi di RTK 15 Sekaroh tidak memilki keseriusan untuk melakukan investasi. Saya menduga ada motivasi lain dari aktivitas investasi yang terjadi di wilayah hutan sekaroh. Sebab belasan tahun aktivitas investasi berlangsung kenyataannya point (e) dalam permen KLHK P. 31/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tidak pernah di bangun. Padahal jelas bunyi point (e) tersebut “enam (6)bulan setelah IUPJLWA di terbitkan”.

Dari point pasal tersebut kita perlu kritis menilai apakah perusahaan atau investor asing tersebut sudah menunaikan kewajibannya? Tentu kita bisa melihat fakta lapangan yang ada. Kedua apakah pemerintah sudah melaksanakan kewajibananya untuk menjalankan tugasnya sebagai pemegang kewenangan dan pembentuk regulasi? Atau keduanya berada dalam satu frekuensi “perselingkuhan” yang sama sehingga investor asing tersebut masih bercokol di tanah sekaroh. Maka saatnya kita lihat keberpihakan pemerintah sebagai pembuktian bahwa pemerintah dan pihak investor sesungguhnya tidak dalam satu frekuensi yang sama.

Wallah huallam bishawab….