Dari Joki Payung hingga Raih Gelar Doktor, Kisah Inspiratif Wahyuddin
KORANNTB.com – Pagi di kampus FHISIP Universitas Mataram hari itu bukan pagi biasa. Udara segar menyelinap di antara dedaunan yang berserakan di halaman, seolah ikut merunduk hormat pada langkah seorang lelaki yang kisah hidupnya lebih panjang dari sekadar gelar.
Cahaya matahari jatuh lembut di teras Gedung A, memantulkan kehangatan di antara lantai marmer yang dingin hari itu, Dr. Wahyuddin, S.H., M.H. resmi menyandang gelar Doktor ke-75 yang lahir dari rahim fakultas tersebut, dengan predikat Cumlaude dan IPK sempurna: 4.00, predikat yang sama yang ia capai sewaktu S1 dan Magisternya.
Bukan dari Taman Kota, Tapi Dari Tanah Dasan
Wahyuddin, Dosen FHISIP Unram, adalah pria kelahiran Kalijaga Tengah, Lombok Timur, tahun 1985. Ia tumbuh bukan di taman kota yang rapi, tapi di sebuah dusun yang keras mendidik anak-anaknya dengan kehidupan. Di tanah Dasan, tempat jalan berlumpur lebih banyak dari lampu jalan, Wahyu kecil belajar bahwa mimpi tak mengenal asal lahir.
Meski dunia tidak memberinya kemewahan sejak lahir, tapi ia punya sesuatu yang jauh lebih bernilai: keyakinan dan ketekunan yang tak bisa dibeli.
Dari Meja Cafe ke Kursi Sidang Promosi Doktor
Semasa SMA, hidup tak memberinya banyak pilihan. Untuk tetap bersekolah, Wahyu bekerja sebagai waiter dan bartender. Ia adalah tulang punggung keluarga, peran yang dipikulnya setelah Ayahnya meninggal dunia sejak usia belasan dipaksa dewasa sebelum waktunya oleh keadaan.
Selepas SMA, ia memilih merantau ke Jakarta bukan untuk mencari kenyamanan, tapi mengejar harapan. Menjadi joki payung di mall Chithose, joki 3in1 di wilayah Jl. Sudirman, hingga sempat menjadi pekerja entertainment di wilayah Harmoni, adalah jalan sunyi yang ia pilih, bukan karena malu, tapi karena sadar, mimpi tidak bisa dibayar dengan gengsi.
Ketika akhirnya bisa melanjutkan S1 di bidang hukum, ia masih harus bekerja sebagai salesman demi membiayai kuliah dan keluarganya. Setelah lulus, demi mengejar pendidikan S2, ia memutuskan menjadi Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan, bertahun-tahun berjibaku di negeri orang, menahan dinginnya salju, rindu, dan tekanan, semua demi mimpi yang lebih besar.
Sepulang dari Korea Selatan, ia melanjutkan studi S2 di FH Unram, dan menjadi lawyer bersidang di peradilan umum, BANI hingga MK, kemudian dipercaya menjadi tenaga ahli dan konsultan hukum, hingga akhirnya mengabdi sebagai dosen di kampus yang kini memberinya gelar doktor.
Namun, perjuangannya tidak berhenti di situ. Dalam disertasinya berjudul “Doktrin Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Dalam Pembentukan Perjanjian Berkeadilan”, Wahyu menggugat ketimpangan yang sering terjadi dalam hubungan kontraktual. Ia menyuarakan bahwa hukum bukan sekadar pasal, tapi juga nurani bahwa keadilan tidak cukup dibingkai dalam teks, tapi harus hadir dalam realita.
“Doktrin penyalahgunaan keadaan bukan sekadar alat hukum,” tegas Wahyu. “Ia adalah jembatan antara kebebasan berkontrak dan perlindungan terhadap yang rentan mereka yang tersudut karena darurat, kebodohan, atau ketergantungan.”
Sahabat, Akademisi dan Simbol Ketekunan
Di mata kolega, Dr. Wahyu bukan hanya cerdas, tapi juga pribadi yang humble, dan menjaga sillaturrahmi cyrcle perkawanan. Ia tak pernah lupa dari mana ia datang. Tak heran jika prosesi sidangnya dipenuhi support dari para koleganya mulai dari wartawan, aktivis, politisi, akademisi dan pejabat, dari NTB hingga luar daerah. Sosoknya menginspirasi, bukan karena gelarnya, tapi karena kisah di balik setiap huruf namanya.
Ketua Majelis Sidang, Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, SH.,MH, berharap agar ilmu yang diraih Wahyu bisa menjadi penerang bagi rekan-rekan sejawat, mahasiswa, dan masyarakat luas.
Dari Jalan Becek ke Podium
Kisah Wahyu adalah cerita tentang keberanian melawan batas, tentang bagaimana seseorang yang lahir di lorong sempit kehidupan bisa berdiri gagah di puncak akademik. Ia membuktikan bahwa takdir bukan sesuatu yang diwariskan, tapi diperjuangkan.
Bagi siapa pun yang saat ini sedang bekerja sambil belajar, menahan lapar sambil menyalin harapan, atau berjalan pelan karena dunia terlalu berat Dr. Wahyuddin sebagai satu cermin, bahwa asal tak menyerah, semua luka akan menemukan pelabuhan cahaya.