Dokter RS Mata NTB Bantah Tudingan Malas dan Tak Disiplin
KORANNTB.com – Sejumlah dokter dan tenaga medis di Rumah Sakit Mata (RS) NTB membantah keras tudingan Forum Rakyat NTB yang menyebut mereka tidak disiplin dan sering mangkir dari tugas. Bantahan ini disampaikan langsung oleh salah satu dokter spesialis mata, dr. Adriana Silvana Benni, pada Kamis, 3 Juli 2025 di Mataram.
Menurut dr. Adriana, tudingan yang menyebut dirinya sebagai salah satu dokter yang malas dan tidak masuk kerja tanpa alasan jelas adalah tidak benar. Ia menegaskan selama ini dirinya selalu hadir dan tercatat dalam absensi resmi rumah sakit.
“Saya selalu masuk kerja sesuai tanggung jawab saya. Semua itu bisa dicek di absensi. Jadi tudingan itu tidak berdasar dan sangat merugikan,” ujarnya kepada wartawan.
Ia mengakui bahwa pelaksanaan tindakan operasi memang tidak selalu mengikuti jadwal tetap yang dibagikan manajemen, tetapi hal itu dilakukan demi kepentingan pasien. Menurutnya, banyak pasien datang dari daerah pelosok NTB dan tidak memiliki cukup waktu serta biaya untuk bolak-balik ke Mataram hanya demi menunggu jadwal.
“Prinsip kami, jangan sampai pasien dirugikan oleh sistem. Kalau pasien sudah selesai diperiksa dan memang membutuhkan tindakan segera, ya kami operasi saat itu juga. Bahkan hampir setiap hari kami melakukan tindakan. Bagaimana bisa dibilang malas?” kata Adriana menegaskan.
Kritik terhadap Manajemen RS Mata
Selain membantah tuduhan soal kedisiplinan, dr. Adriana dan sejumlah rekannya juga menyoroti persoalan internal di RS Mata NTB, terutama menyangkut sistem pembagian jasa pelayanan yang dinilai tidak adil dan bertentangan dengan aturan.
Ia menyebut, dokter dengan golongan IV B justru menerima jasa yang lebih rendah dibandingkan dokter magang atau tenaga honorer, yang secara struktur memiliki tanggung jawab lebih kecil.
“Ini yang membuat kami kecewa. Kami sudah lama mengabdi, punya tanggung jawab besar, tapi nilai jasa kami justru lebih rendah dari yang statusnya magang. Ini tidak adil,” ungkapnya.
Menurut Adriana, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda), pembagian jasa pelayanan seharusnya menggunakan skema 60:40, yakni 60 persen untuk rumah sakit dan 40 persen untuk tim medis. Namun, sistem yang diterapkan manajemen RS Mata saat ini justru mengikuti pola RSUP NTB, di mana pembagian dilakukan merata kepada seluruh pegawai, termasuk yang tidak terlibat langsung dalam pelayanan pasien.
“Ini melenceng dari Perda. Dan kami sudah meminta agar dilakukan mediasi antara manajemen dan para dokter, tapi sampai sekarang tidak pernah digubris,” tambahnya.
Desakan Transparansi dan Perbaikan
dr. Adriana menilai, munculnya polemik ini seharusnya menjadi momentum bagi Pemprov NTB untuk mengevaluasi sistem manajerial di RS Mata secara menyeluruh. Ia menyayangkan adanya tudingan sepihak yang menyerang integritas dan profesionalisme para dokter, sementara akar persoalan sebenarnya tidak dibuka secara jujur ke publik.
“Pelayanan kami di lapangan tidak hanya soal hadir dan absen. Kami ini berhadapan langsung dengan pasien, menanggung beban psikologis, tanggung jawab medis, dan etika. Jadi ketika kami diperlakukan tidak adil oleh sistem, lalu dituduh pula malas, itu sangat menyakitkan,” ucapnya.
Ia berharap Gubernur NTB dan Dinas Kesehatan setempat turun tangan secara langsung untuk menyelesaikan persoalan ini, bukan hanya menanggapi suara dari luar yang belum tentu memahami situasi internal rumah sakit.