KORANNTB.com – Aliansi Reformasi POLRI untuk Masyarakat NTB menyatakan memberi bantuan hukum kepada perempuan berinisial M, tersangka dalam kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi, anggota Propam Polda NTB. Langkah hukum ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan atas potensi kriminalisasi dan ketidakadilan hukum terhadap warga sipil, khususnya perempuan muda dari kelompok rentan.

Dalam siaran pers yang dirilis Rabu, 9 Juli 2025, Koordinator Aliansi, Yan Mangandar Putra, menjelaskan bahwa pendampingan diberikan setelah pihaknya menerima surat kuasa khusus dari M pada 27 Juni 2025.

“Kami melihat adanya kejanggalan dalam proses hukum yang sedang berjalan. Ada potensi peradilan sesat terhadap saudari M, seorang perempuan muda yang tidak memiliki relasi kekuasaan maupun posisi strategis dalam perkara ini,” ujar Yan.

Kematian Janggal Seorang Brigadir

Link Banner

Brigadir Muhammad Nurhadi ditemukan meninggal pada 16 April 2025 di kolam Villa Tekek, kawasan The Beach House Resort, Gili Trawangan, Lombok Utara. Awalnya, kematian Nurhadi disebut sebagai kecelakaan tenggelam. Namun belakangan, hasil otopsi menunjukkan luka-luka kekerasan pada bagian wajah, leher, tangan, lutut, punggung, dan kepala korban.

Kasus ini dilaporkan oleh anggota kepolisian sendiri melalui Laporan Polisi Model A pada 21 April 2025. Penyidikan resmi dimulai 30 April 2025. Tersangka M ditetapkan bersama dua polisi aktif saat itu: Kompol YG dan Ipda HC, yang juga merupakan atasan langsung Brigadir Nurhadi di Subbidpaminal Propam Polda NTB.

“Saudari M dituduh turut serta dalam penganiayaan atau lalai sehingga menyebabkan kematian, padahal fakta yang kami dalami menunjukkan ia sama sekali tidak memiliki motif. Ia bahkan baru pertama kali bertemu almarhum hari itu,” tegas Yan.

Tersangka M: Perempuan Muda, Anak Yatim, Pekerja Hiburan

Aliansi menyampaikan bahwa M adalah perempuan berusia 23 tahun asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ia dikenal sebagai siswi berprestasi, belum menikah, lulusan SMA, dan bekerja di bidang hiburan malam untuk menafkahi ibu dan lima saudara kandungnya pasca kematian ayahnya.

Pada 16 April, M disebut hadir di lokasi kejadian atas permintaan Kompol YG. Ia bersama seorang perempuan lain berinisial P disebut diminta menemani dua anggota polisi, YG dan HC. Mereka berlima mengonsumsi alkohol dan narkotika, antara lain tequila, ekstasi, serta obat penenang riklona yang dibeli Kompol YG melalui transfer Rp2 juta ke rekening teman M.

“Perempuan ini tidak tahu bahwa kunjungan pertamanya ke Lombok justru berujung penahanan. Ia bukan siapa-siapa di sini. Tidak ada jaringan kekuasaan. Tidak ada perlindungan,” ujar Yan.

Penangkapan dan Kondisi Psikis M yang Terpuruk

M ditangkap pada 29 Juni 2025 saat tiba di Bandara Lombok. Ia sempat dijemput tim Aliansi, namun lebih dulu diamankan tim Subdit III Ditreskrimum Polda NTB. Ia kemudian diperiksa di ruang Subdit dengan didampingi pengacara publik dari Aliansi.

Namun pemeriksaan berlangsung sulit. M mengalami kelelahan, tekanan psikis, bahkan sempat kerasukan yang oleh tim disebut menyerupai “kerasukan arwah Brigadir Nurhadi” menyebut nama pelaku dan cara meninggalnya korban.

“Ini bukan fenomena supranatural yang kami persoalkan. Tapi tekanan mental itu nyata. Dia stres berat, kehilangan kesadaran sebagian akibat pengaruh obat, dan dihantui rasa takut luar biasa,” ujar Yan.

Pada 2 Juli dini hari, setelah didampingi psikolog Universitas Mataram dan UPTD PPA, M akhirnya menjalani BAP sebagai tersangka. Ia langsung ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan yang berlaku hingga 19 Juli 2025.

“Kami mengajukan permohonan penangguhan penahanan pada 3 Juli. Kami siap menjamin. Tapi yang kami harapkan bukan hanya penangguhan, melainkan proses hukum yang benar-benar adil,” tegasnya.

Tidak Menyaksikan Kejadian, Memori Terganggu

Dalam keterangannya, M menyatakan tidak melihat peristiwa penganiayaan terhadap Brigadir Nurhadi. Saat kejadian sekitar pukul 20.00 WITA, ia masuk kamar mandi selama lebih dari 20 menit. Sebelumnya ia sempat membangunkan Kompol YG dan melihat Ipda HC di teras vila.

Aliansi menyebut, kesaksian M sejalan dengan keterangan Kompol YG dan Ipda HC yang mengaku tidak mengetahui kejadian penganiayaan. Namun hasil otopsi menunjukkan luka serius yang dialami korban sebelum tenggelam.

Yan menyebut, pengaruh narkoba yang dikonsumsi membuat M kehilangan sebagian kesadaran dan memorinya kabur. “Kondisi fisik M sebagai perempuan tentu lebih rentan terhadap efek obat-obatan dibanding para tersangka lainnya yang merupakan pria dewasa, polisi aktif, dan punya pengalaman taktis.”

Dugaan Manipulasi Prosedur dan Relasi Kuasa

Aliansi juga mencurigai adanya upaya manipulasi prosedur. Misalnya, jenazah Brigadir Nurhadi langsung dibawa ke RS Bhayangkara tanpa autopsi, dan baru dilakukan ekshumasi pada 1 Mei 2025 setelah adanya tekanan dari pihak luar.

“Kenapa korban bisa langsung dikubur begitu saja? Informasi awal kepada keluarga pun hanya soal tenggelam. Ini mencurigakan. Apakah ada yang ditutupi?” tanya Yan.

Ia juga menyebut potensi intervensi dari pihak-pihak tertentu.

“Kompol YG dan Ipda HC adalah aparat aktif yang punya jejak panjang di Polda NTB. Bahkan jika sudah diberhentikan, pengaruh sosial mereka tetap ada. Sementara M adalah perempuan muda dari luar daerah, tidak ada satu pun yang membelanya jika bukan kami,” tegasnya.

Yan juga menambahkan bahwa M sempat diminta Kompol YG agar tidak menceritakan soal konsumsi riklona dan inex. “Kami melihat pola dominasi dan pembungkaman. Ini bukan sekadar kriminalitas biasa, ini soal ketimpangan kuasa,” katanya.

Aliansi Reformasi POLRI meminta agar penyidik, kejaksaan, hingga pengadilan benar-benar objektif dalam menangani kasus ini. Mereka juga meminta keterlibatan Komnas HAM dan LPSK untuk memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan perempuan dalam sistem peradilan pidana.

“Kami tidak sedang membela kriminal. Tapi kami membela hak dasar seorang warga negara untuk mendapatkan keadilan. Jangan sampai perempuan muda yang tidak tahu-menahu ini dikorbankan demi menyelamatkan struktur yang lebih besar,” tutup Yan.