Oleh: Harianto
Jurnalis freelance & peneliti di Lombok Research Center (LRC)

Di sebuah aula sederhana yang dikelilingi hijaunya perbukitan dan jejak matahari pagi yang jatuh malu-malu di halaman Yayasan Raudatul Hasanah, kami berkumpul. Hari itu, Senin, 26 Mei 2025, bukan hanya sebatas pelatihan teknis atau ritual formal perencanaan desa.

Di balik meja-meja tersusun huruf U, kami sedang belajar merumuskan masa depan—bukan lewat janji kampanye, tetapi lewat lembar-lembar regulasi yang hendak dituliskan dengan bahasa warga.

Saya menyimak, merekam dalam batin bagaimana kata demi kata mengalir dari mulut tokoh-tokoh lokal: Ketua BPD, Kepala Wilayah, Sekretaris Desa, dan terutama mereka yang sehari-hari lebih akrab dengan cangkul, keranjang cabai, dan keramaian Posyandu daripada kalimat pasal dan ayat hukum.

Link Banner

Kertasari hari itu tak hanya membahas Peraturan Desa (Perdes). Ia sedang mencoba menulis ulang kisahnya sendiri, dari bawah.

“Apa yang paling baik dari Desa Kertasari?” tanya fasilitator kami, Dr. Maharani, yang membuka diskusi dengan cara yang menyentuh perasaan dan pengalaman, bukan langsung bicara regulasi. Maka muncul kata-kata seperti “transparan”, “kompak”, “gotong-royong”, “persatuan”, “totalitas”, dan “percaya diri”. Kata-kata sederhana, tetapi punya napas kehidupan.

Saya merenung. Betapa jauh desa telah berjalan. Dulu desa sering diposisikan sebagai obyek—tempat implementasi program, bukan sebagai subyek perumus arah. Tapi di sini, di aula yang dipenuhi suara tawa, debat, dan kopi hitam yang hangat, saya melihat praktik demokrasi lokal berjalan begitu bersahaja.

Diskusi tentang Perdes jual beli dan pencegahan pernikahan anak menjadi medan pertarungan ide, nilai, dan kepentingan. Ada yang bicara tentang retribusi 2% dari nilai jual, ada pula yang menyoroti urgensi mencegah praktik kawin-cerai tanpa administrasi. Bahkan ada perdebatan serius tentang batas waktu midang malam hari dan pemakaian musik nyongkolan.

Sejenak, saya merasa sedang duduk di parlemen kecil, tetapi dengan aroma cabai dan semangat ibu-ibu kader yang lebih hangat dari debat di Senayan. Namun inilah yang sering luput dari narasi pembangunan kita bahwa peraturan yang hidup bukan dilahirkan dari ruang-ruang birokrasi semata, melainkan dari ruang tempat pengalaman warga sehari-hari menjadi pertimbangan utama.

Itulah mengapa Perdes bukan sekadar alat administrasi. Ia semestinya cermin dari rasa keadilan, penjaga nilai lokal, dan pengikat sosial yang tumbuh dari bawah.

Saya teringat penegasan Direktur LRC, Suherman, bahwa peraturan desa seharusnya tidak hadir karena kewajiban struktural semata—misalnya karena imbauan kabupaten agar semua desa membuat Perdes pendewasaan usia perkawinan. Tapi perdes idealnya hadir karena kebutuhan masyarakat, karena ada masalah nyata yang ingin diselesaikan secara kolektif.

Dan masalah itu nyata, pernikahan dini, perceraian tanpa akta, hingga jual beli tanpa surat yang menyisakan konflik di kemudian hari. Ketika desa punya keberanian untuk mengatur dirinya, di situlah kedaulatan lokal menemukan bentuknya.

Di tengah riuh pembahasan, saya mendengar suara ibu Kasmita yang lantang namun bersahabat. “Kami semangat meskipun dapur belum sempurna.” Sebuah kalimat yang menggugah. Ia menyiratkan bahwa keterlibatan warga bukan karena semuanya sudah selesai, melainkan justru karena banyak yang masih harus diperjuangkan.

Kehadiran Kelompok Konstituen—yang telah memiliki divisi pencatatan, pengaduan, dan pendataan—juga menunjukkan bahwa desa tidak kekurangan daya atau daya pikir. Hanya sering kali, daya itu tidak diberi ruang dalam regulasi. Maka ide untuk mengintegrasikan peran mereka ke dalam substansi Perdes adalah bentuk pengakuan, bukan sekadar teknis. Ini adalah penguatan, bukan sekadar partisipasi.

Perdes yang digagas hari itu bukan hanya untuk menyusun larangan atau menetapkan besaran biaya. Ia sedang mengembalikan rasa keadilan ke tengah-tengah masyarakat. Misalnya ketika biaya administrasi pernikahan dirinci dan diupayakan agar tidak memberatkan warga, atau saat diskusi tentang siapa yang bertanggung jawab mencegah perkawinan anak dimatangkan. Semua itu menunjukkan bahwa regulasi yang disusun dari ruang warga akan lebih adaptif, lebih peka, dan lebih inklusif.

Namun saya juga belajar satu hal penting lainnya bahwa regulasi tidak cukup hanya berhenti di kertas. Ia harus dibumikan. Karena itulah, diskusi tentang strategi sosialisasi menjadi penting. Ada yang mengusulkan pengeras suara masjid, media sosial, spanduk di sekolah, hingga khutbah Jumat. Ada pula yang mengusulkan Posyandu dan forum remaja sebagai saluran edukasi.

Saya yakin, semakin kontekstual sosialisasi dilakukan, semakin hidup pula peraturan itu di hati warga. Peraturan tidak akan menjadi beban jika ia lahir dari kehendak kolektif, dan tidak akan menjadi abu-abu jika sejak awal melibatkan warna-warni suara masyarakat.

Di penghujung acara, Dr. Maharani kembali meminta peserta menuliskan satu kata tentang apa yang ingin diubah. Kadus Montong Seneng menjawab, “Pikiran kita.”

Jawaban itu begitu menggugah. Bahwa pekerjaan utama pembangunan bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun kesadaran. Membangun keberanian untuk mengubah. Dan perubahan yang paling sulit adalah perubahan cara berpikir.

Dari Desa Kertasari, saya belajar bahwa keberdayaan tidak selalu datang dari modal besar, proyek besar, atau investor dari luar. Kadang cukup dari keberanian menulis sebuah Perdes yang jujur, partisipatif, dan mengakar.

Malam hari setelah kegiatan, saya menyendiri di beranda rumah. Di kejauhan, suara binatang malam bersahut-sahutan. Saya membuka kembali catatan hari itu, dan tertegun pada satu hal bahwa pembangunan yang inklusif bukan sekadar jargon, melainkan ketika kepala wilayah, petani, ibu rumah tangga, dan BPD duduk setara menyusun peraturan bersama.

Mungkin inilah yang dimaksud oleh Sekdes Sunardi dalam pantunnya: “Di pagi hari makan pepaya, rasanya enak sambil tertawa. Hari ini kita berjumpa di acara yang istimewa.” Ya, istimewa bukan karena kami membahas sesuatu yang besar, tetapi karena kami mencoba menjadi besar dengan membahas sesuatu yang dekat.

Dan semoga kelak, ketika Perdes itu ditetapkan dan disosialisasikan, ia akan menjelma bukan hanya menjadi produk hukum, tetapi menjadi naskah cinta antara warga dan desanya sendiri.