Jalan Sunyi dari Desa Menuju Kedaulatan Pangan
Oleh: Harianto
Jurnalis freelance dan peneliti di Lombok Research Center (LRC)
KOLOM – Di balik sawah yang makin menyempit dan kampung-kampung yang kian modern, terselip kegelisahan panjang: mampukah desa bertahan sebagai nadi kedaulatan pangan itu?
Sebuah seminar di aula BAPPEDA Lombok Timur pada 10 Juli 2025 lalu mencoba menjawabnya, tidak hanya dengan data dan peta, tetapi juga dengan harapan yang tumbuh dari tanah dan mulut ibu-ibu rumah tangga yang menyulam gizi dalam dapur sederhana mereka.
Empat bulan riset kolaboratif yang dilakukan tim peneliti Lombok Research Center (LRC) atas dukungan BAPPEDA Lombok Timur ini menghadirkan satu dokumen penting: potret utuh ketahanan pangan desa-desa di ujung timur Pulau Lombok.
Tetapi tulisan ini tidak hendak mendedah hasil riset dalam terminologi akademik. Sebaliknya, tulisan ini mencoba untuk menengok lebih dalam tentang bagaimana desa tak sekadar menjadi lokasi produksi, tetapi juga medan pengharapan dan perjuangan dari ancaman krisis pangan yang kian nyata.
Kita hidup di tengah dunia yang cemas. Perubahan iklim menebalkan ketidakpastian musim, pandemi meninggalkan luka panjang pada sistem distribusi pangan, sementara konversi lahan pertanian terus menggeliat diam-diam.
Dalam kondisi semacam itu, desa-desa di Lombok Timur justru menampilkan satu sketsa yang penuh pertanyaan sekaligus semangat, apakah kemandirian pangan masih mungkin diusahakan dari tapak-tapak kecil pedesaan?
Muhamad Bai’ul Hak, dosen Unram sekaligus tim peneliti utama yang memaparkan hasil riset dalam seminar tersebut. Dia membuka paparannya dengan analogi dari dunia film. Ia juga membandingkan krisis lingkungan dan ledakan populasi dengan skenario fiksi ala Thanos di film Avengers.
Bukan untuk menggampangkan masalah, tapi untuk mengetuk kesadaran: bumi tak sedang baik-baik saja, dan manusia perlu mengubah cara hidupnya.
Lombok Timur, menurut data terakhir, berada dalam zona “tahan” ketahanan pangan—artinya belum sangat rentan, tetapi juga belum sepenuhnya aman. Indeks ketahanan pangan kabupaten ini berada di angka 73,32. Dari 416 kabupaten/kota di Indonesia, Lombok Timur berada di peringkat 284.
Angka ini mengandung ironi sekaligus peluang. Ironi karena secara geografi, sosial dan budaya, Lombok Timur sebetulnya kaya potensi pangan lokal. Peluang karena ini menjadi pijakan untuk melompat.
Penelitian ini menemukan bahwa ketahanan pangan bukan urusan satu sektor semata. Ia adalah orkestrasi lintas bidang: irigasi, pendidikan, kemiskinan, sanitasi, hingga partisipasi perempuan.
Maka tidak mengherankan bila konsep Desa Mandiri Pangan yang diusulkan bersifat lintas dimensi yang berbasis potensi lokal, kolektif dan partisipatif, terintegrasi, berkelanjutan, dan inklusif.
Inklusivitas menjadi sorotan penting. Dalam sistem pangan desa, perempuan memegang peran sentral yang kerap tak terlihat. Mereka adalah juru masak, pengelola konsumsi keluarga, hingga penjaga tradisi pangan lokal. Namun kebijakan seringkali tidak berpihak.
Kita perlu mengajak diri kita untuk tidak hanya melihat pangan sebagai produk pertanian semata, tetapi sebagai laku budaya, praksis sosial, dan ruang politik rumah tangga.
Banyak desa yang belum punya peta ketahanan pangan berbasis data. Padahal, seperti yang diusulkan tim peneliti, akan sangat penting bila kepala desa punya peta berbasis dusun: mana wilayah yang masih rawan stunting, mana yang belum punya akses air bersih, dan mana yang kelebihan produksi namun kekurangan pengolahan.
“Saya selalu membayangkan di ruang kepala desa ada peta ketahanan pangan,” kata Bai’ul Hak.
Sayangnya, ketiadaan data mikro membuat alokasi dana desa untuk ketahanan pangan (20% dari total anggaran sesuai Permendes Nomor 2 Tahun 2024) tidak selalu tepat sasaran.
Banyak desa masih memaknai ketahanan pangan hanya sebagai proyek fisik: membangun lumbung, membeli bibit. Padahal indikator ketahanan pangan menyangkut hal yang lebih kompleks: keterjangkauan, ketersediaan, dan pemanfaatan.
Menuju Mandiri Pangan
Dalam sesi diskusi, muncul pula kritik tentang pemborosan pangan. Indonesia membuang sekitar 48 juta ton sampah makanan setiap tahun. Jika dikelola, cukup untuk memberi makan 216 juta orang. Di tingkat lokal, itu berarti ketahanan pangan bukan hanya soal menambah produksi, tapi juga mengubah budaya konsumsi.
Kita makan terlalu banyak nasi. Rata-rata konsumsi beras per kapita di Lombok Timur lebih dari 350 gram per hari. Padahal beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat. Jagung, singkong, sukun, dan pisang adalah pangan lokal yang dulu akrab dalam tubuh dan lidah orang Sasak.
Kini, semua itu seperti pelengkap, bukan pokok. Menjadi tugas besar pendidikan dan penyuluhan untuk mengubah paradigma: bahwa makanan bergizi tidak harus mahal dan tidak selalu bermerk.
Desa Mandiri Pangan adalah kerja panjang. Ia tidak selesai dalam satu periode kepala desa, atau satu siklus pemerintahan kabupaten. Ia adalah laku kolektif yang mesti berakar pada masyarakat, diperkuat oleh lembaga desa, dan didorong oleh regulasi yang berpihak.
Dalam seminar itu, muncul ide untuk melibatkan mahasiswa KKN dari kampus-kampus lokal untuk membuat profil ketahanan pangan desa. Ini langkah cerdas: membangun data sambil membentuk kader perubahan.
Satu hal yang mengendap dalam benak saya dari seminar itu adalah keperluan akan role model. Bahwa jika ingin anak muda tertarik bertani, harus ada wajah-wajah muda yang sukses di sektor pangan.
Petani bukanlah profesi darurat karena gagal jadi PNS, tetapi pilihan sadar yang modern dan berwawasan. Kita perlu menarasikan kisah sukses, tidak hanya di rapat-rapat OPD, tetapi di sekolah-sekolah, media sosial, dan mimpi anak-anak desa.
Kemandirian pangan dari desa bukan sekadar jargon pembangunan. Ia adalah strategi bertahan hidup. Ketika dunia dibayangi krisis iklim dan konflik geopolitik, ketika pasokan pangan global tidak lagi pasti, maka desa menjadi tempat paling logis untuk memulai kedaulatan.
Tapi untuk itu, kita butuh keberpihakan yang nyata: dalam anggaran, dalam program, dan dalam narasi.
Lombok Timur telah memulai langkah kecil. Tapi jalan sunyi ini tak boleh dilalui sendirian. Negara harus hadir bukan sebagai pengatur, tetapi sebagai fasilitator dan pelindung.
Agar desa tidak hanya menjadi penonton di meja makan nasional, tetapi juga penyaji utama—dengan cita rasa lokal, dengan semangat gotong royong, dan dengan keberanian untuk mandiri.
Dan mungkin, seperti kata penyair, jalan sunyi ini tak perlu ramai untuk sampai ke tujuan. Cukup dengan langkah yang jujur dan niat yang utuh. Nah, begitu?!