Air Mata Kartini di Tengah Debu Penggusuran Tanjung Aan
KORANNTB.com – Langit Tanjung Aan yang biasanya memayungi senyum para pelancong, pagi itu mendung oleh isak tangis. Bukan karena hujan, melainkan karena harapan yang direnggut paksa. Di hamparan pasir putih Desa Sengkol, Lombok Tengah, suara mesin pengangkut dan teriakan aparat bercampur dengan ratapan warga yang kehilangan mata pencaharian mereka.
Di antara kerumunan itu, seorang perempuan bernama Kartini berdiri dengan mata sembab. Pemilik Warung Aloha di Tanjung Aan itu tak kuasa membendung tangis saat barang-barang dagangannya mulai dikeluarkan satu per satu. Kakinya nyaris tak sanggup menopang tubuhnya yang lemas menyaksikan hasil jerih payah bertahun-tahun diratakan dalam hitungan menit.
“Kami tidak dianggap di sini menjadi warga Indonesia… KTP yang kami punya itu sia-sia,” ucap Kartini pelan, suaranya pecah oleh tangis yang menggumpal di dada. Kata-kata itu terlontar di hadapan barisan aparat dan para jurnalis, Selasa siang, 15 Juli 2025.
Warung miliknya bukan sekadar tempat jualan. Ia adalah dapur bagi 60 keluarga yang menggantungkan hidup sebagai karyawan. Kini, semua itu lenyap, digilas program penataan kawasan yang menurutnya belum menyentuh keadilan sosial.
“Katanya untuk kesejahteraan rakyat,” ujarnya lirih. “Pembangunan hotel di belakang belum ada, ribuan hektare masih kosong. Tapi kenapa kami yang didahulukan?”
Kartini dan warga lain selama ini hanya berjualan di sepadan pantai. Mereka mengaku tak pernah diajak duduk bersama, tak pernah dimintai pandangan sebelum keputusan penggusuran dilayangkan. Yang datang justru surat peringatan, dan pagi itu ratusan aparat berseragam.
“Kalau kami menyerah, kami mati pelan-pelan. Apa yang akan kami makan ke depan? Kredit motor, kredit rumah… siapa yang akan menanggung?” tanya Kartini, menggenggam erat lengan seorang karyawan yang ikut menangis di sampingnya.
Sejak pukul sembilan pagi, sebanyak 700 personel gabungan dikerahkan. Polisi, TNI, Satpol PP, bahkan satuan pengamanan desa, semua turun mengamankan proses pembongkaran. Menurut pihak kepolisian, sebanyak 46 titik lapak ditertibkan hari itu. Beberapa pedagang memilih membongkar sendiri, meski tak semua bisa menahan perih di hati.
Ada juga yang bertahan. Satu pemilik warung menolak keras, menyebut penertiban dilakukan sepihak oleh ITDC, pengelola kawasan ekonomi khusus Mandalika yang memegang hak pengelolaan lahan di pantai tersebut.
Dari sisi aparat, Kepala Seksi Humas Polres Lombok Tengah, Iptu Lalu Brata Kusnadi, mengatakan bahwa proses berjalan lebih tertib dari hari sebelumnya. Ia menyebut pembongkaran dilakukan secara bertahap dan pihak ITDC siap membantu warga yang memerlukan bantuan teknis.
Namun bagi Kartini, yang hilang bukan sekadar bangunan kayu dan atap seng. Yang hilang adalah ruang hidup. Tempat di mana ia membesarkan keluarga, menghidupi puluhan orang, dan menyemai harapan.
Hari itu, di pantai yang indah, suara tangis terdengar lebih nyaring dari debur ombak.