Fenomena BIB Duplikat di Tengah Euforia Event Lari Indonesia
H. Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos (Pegiat lari sejak tahun 2019 dan anggota komunitas lari Runjani di Lombok)
KORANNTB.com – Sejak tahun 2019, penulis mulai jatuh cinta pada dunia lari. Bukan karena tren, bukan pula karena gaya hidup, tetapi karena ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar gerakan kaki dan garis akhir. Di setiap langkah, penulis menemukan ruang untuk merenung, bertumbuh, dan jujur pada diri sendiri. Maka, ketika belakangan ini marak kembali kasus penggunaan BIB (nomor dada peserta lomba) milik orang lain bahkan BIB duplikat yang digunakan demi pengakuan sosial, penulis merasa ada nilai-nilai penting dari olahraga ini yang sedang terkikis secara perlahan.
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik terjadi dalam ajang Pocari Sweat Run Bandung 2025. Seorang pria diketahui menggunakan BIB yang secara resmi terdaftar atas nama seorang perempuan. Fakta ini terungkap setelah pemilik asli BIB mengunggah klarifikasi di media sosial. Pelaku akhirnya mengakui kesalahan dan menyampaikan permintaan maaf. Namun, persoalan ini sesungguhnya lebih dari sekadar pelanggaran teknis.
Ini bukan kejadian pertama. Pada Pocari Sweat Run Bandung 2022, pernah beredar dokumentasi visual tentang seseorang yang mengenakan BIB duplikat dari pelari lain. Panitia kala itu menanggapi tegas, dan menyebut bahwa pelanggaran semacam ini bisa berdampak pada diskualifikasi serta pemblokiran dari event-event mendatang.
Demikian pula pada Borobudur Marathon 2023, muncul laporan bahwa beberapa peserta menggunakan BIB yang tidak terdaftar atau bahkan hasil fotokopi. Penyelenggara menyesalkan kejadian tersebut karena menyangkut aspek keamanan, data medis, dan tentunya integritas kompetisi. Di beberapa komunitas lari, cerita-cerita soal BIB titipan atau bahkan diperjualbelikan secara diam-diam pun tak lagi asing terdengar.
Lari dan Budaya Pengakuan Sosial
Dalam beberapa tahun terakhir, event lari menjamur di berbagai kota. Didukung oleh sponsor, pemerintah daerah, dan kalangan selebritas, dunia lari telah tumbuh menjadi tren gaya hidup yang sangat populer. Namun, popularitas ini tidak lepas dari dinamika sosial yang mengiringinya: lari tidak lagi hanya tentang proses, tetapi tentang eksistensi. Tentang bagaimana seseorang terlihat kuat, keren, dan cepat setidaknya di media sosial.
Fenomena “joki Strava” adalah salah satu bentuk nyata dari gejala ini. Seseorang menyewa pelari lain untuk berlari menggunakan akunnya di aplikasi pelacak seperti Strava, demi memperoleh hasil lari yang mengesankan dan bisa dipamerkan di media sosial. Ini adalah bentuk rekayasa identitas digital yang lahir dari dorongan untuk diakui, tetapi tidak dibangun dari upaya pribadi.
Secara sosiologis, gejala ini mencerminkan budaya performatif yang semakin menguat di era digital: ketika nilai seseorang lebih sering diukur dari citra yang ditampilkan ketimbang proses yang dijalani. Sayangnya, dunia lari yang seharusnya mengajarkan kesabaran dan kejujuran juga turut terpengaruh oleh budaya ini.
Dalam banyak komunitas lari, ada pula tekanan sosial yang tidak disadari. Misalnya, seseorang merasa harus terus meningkat performanya karena khawatir dianggap stagnan. Ada pula yang merasa malu bila pace-nya menurun atau jaraknya tak sejauh yang diharapkan. Padahal, setiap orang memiliki batas dan kondisi masing-masing.
BIB Bukan Sekadar Nomor
Bagi seorang pelari, BIB bukan sekadar angka yang ditempel di dada. Di dalamnya termuat identitas, informasi medis, serta rekam jejak peserta. Ketika BIB diduplikasi atau digunakan oleh orang lain, bukan hanya aturan yang dilanggar, tetapi potensi bahaya juga dihadirkan. Bayangkan jika seorang peserta kolaps di tengah lomba, dan data medis yang tercatat tidak sesuai dengan orang yang sebenarnya berlari.
Lebih dari itu, penggunaan BIB palsu adalah bentuk ketidakjujuran. Ia mencederai sportivitas, merusak kepercayaan antar pelari, serta menyalahi semangat dasar dari olahraga itu sendiri.
Penulis pribadi telah mengikuti berbagai event lari, mulai dari 5K, 6K, 7K, 10K, 21K, hingga Marathon 42K. Semuanya penulis jalani secara bertahap, sesuai kemampuan fisik dan kondisi finansial. Penulis menyadari bukan seseorang yang memiliki kecepatan tinggi, sehingga tidak pernah berlari demi podium. Namun menikmati prosesnya: latihan yang rutin, jarak yang semakin jauh, serta konsistensi yang terus saya rawat.
Komunitas sebagai Ruang Tumbuh
Penulis beruntung dapat bergabung dengan komunitas lari Rinjani Lombok sejak 2019 hingga kini. Sebuah Komunitas yang didirikan oleh Imam Ahmad Askalani pada 2016 di Mataram, Lombok. Komunitas ini bukan hanya tempat berbagi rute dan jadwal latihan, tetapi juga tempat belajar menjaga semangat, saling menyemangati, dan tumbuh bersama. Penulis juga pernah berlatih di Club Lari Kijang Rinjani Lombok Timur, tempat di mana para atlet muda berlatih dengan serius.
Bagi Penulis, komunitas adalah fondasi penting dalam membangun ekosistem lari yang sehat. Komunitas yang menekankan kejujuran dan proses, bukan semata-mata kecepatan atau medali. Di sinilah nilai-nilai dasar lari seperti disiplin, konsistensi, dan keotentikan dipupuk bersama. Dalam era media sosial, tidak bisa dimungkiri bahwa kecenderungan untuk tampil mengesankan semakin kuat. Beberapa pelari mungkin merasa terdorong untuk terus menunjukkan performa terbaik demi mendapat pengakuan atau validasi. Ini bukan hal yang salah, tetapi menjadi refleksi bahwa motivasi eksternal kerap mengambil alih semangat awal yang tulus. Padahal, tubuh tidak selalu harus berlari kencang; kadang ia cukup diajak bergerak pelan, asal terus berlanjut.
Apa yang Sedang Kita Pertaruhkan?
Fenomena BIB duplikat dan joki identitas, bila terus dibiarkan, dapat merusak ekosistem lari di Indonesia. Ini bukan hanya soal regulasi dan keselamatan, tetapi juga tentang nilai-nilai dasar: sportivitas, kejujuran, dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Lari adalah olahraga yang tidak bisa dipalsukan. Kita tidak bisa pura-pura cepat. Tidak bisa berdusta soal jarak. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus melangkah. Maka, ketika seseorang berlari dengan identitas orang lain atau dengan pencapaian palsu, sejatinya ia sedang lari dari dirinya sendiri.
Mari Kembali pada Esensi
Sudah saatnya kita kembali pada esensi olahraga ini. Kepada para pelari, mari rawat integritas. Nikmati proses, dan banggalah dengan capaian diri sendiri. Kepada komunitas, mari kita bangun ruang yang sehat untuk saling mendukung, bukan saling menekan. Kepada penyelenggara event, penting untuk memperkuat sistem verifikasi dan memberikan edukasi menyeluruh tentang pentingnya kejujuran dan keamanan dalam lomba. Karena pada akhirnya, lari bukan tentang siapa yang tercepat. Tapi tentang siapa yang paling setia menempuh jaraknya sendiri, dengan langkahnya sendiri, dan namanya sendiri.