KORANNTB.com — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Praya menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Muhammad Tazkiran, pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Pringgarata, Lombok Tengah, yang terbukti melakukan persetubuhan terhadap santriwatinya.

Putusan dibacakan Kamis, 31 Juli 2025 pukul 16.30 WITA dalam sidang yang dipimpin Ketua PN Praya, Ika Dhianawati, bersama dua hakim anggota, Farida Dwi Jayanthi dan Maulida Ariyanti.

Turut hadir dalam sidang Tim Advokasi dari LPA Mataram, Joko Jumadi dan PBHM NTB, Yan Mangandar Putra dan Imam Zazuni. Hadir pula Asisten Penghubung Komisi Yudisial Wilayah NTB, Endru Mahendra dan Desrin Jania.

Vonis ini merupakan jawaban atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Praya yang sebelumnya menuntut pidana 19 tahun.

Link Banner

Majelis hakim menyatakan Pimpinan Ponpes di Pringgarata Tazkiran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan persetubuhan terhadap anak oleh tenaga pendidik, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) jo ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2016.

“Menjatuhkan hukuman selama 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan penjara,” kata hakim membaca putusan.

Dalam amar putusan, majelis mempertimbangkan hasil visum et repertum serta wawancara dokter dengan korban, yang mengaku dua kali disetubuhi terdakwa di ruang kelas pada 2021 dan di rumah korban pada 2022. Keterangan ini diperkuat oleh surat perdamaian dan kesaksian pelapor yang merupakan ayah korban.

Anggota Tim Advokasi dari PBHM NTB, Yan Mangandar Putra mengatakan putusan tersebut sebagai langkah progresif penegak hukum sekaligus menjadi peringatan serius terhadap pengelola Ponpes risiko pelecehan seksual dan pencabulan terhadap santri.

“Putusan ini merupakan langkah progresif dan kemenangan bagi korban, meski belum mencerminkan rasa keadilan sepenuhnya. Vonis ini harus menjadi peringatan serius bagi semua pengelola ponpes di NTB,” kata Yan.

Yan juga menilai aparat penegak hukum sudah berani keluar dari tekanan relasi kuasa di lingkungan tertutup seperti ponpes.

“Kita tahu kasus kekerasan seksual di ponpes kerap sulit diungkap karena kultur tutup mulut dan posisi pelaku yang dihormati. Tapi kasus ini membuktikan keadilan bisa ditegakkan,” tegasnya.

Baik jaksa maupun terdakwa menyatakan banding atas putusan tersebut.

Langkah tegas aparat hukum ini dinilai kontras dengan lemahnya peran Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB dalam mencegah kekerasan seksual di ponpes. Yan berharap kasus ini bisa menjadi titik balik pemutusan rantai kekerasan terhadap anak di lembaga pendidikan keagamaan.