Mantan Agen BIN Sebut Riza Chalid dan Geng Solo di Balik Kerusuhan Demo
KORANNTB.com – Mantan agen Badan Intelijen Negara (BIN), Kolonel Infanteri (Purn) Sri Radjasa Chandra, mengungkap adanya dalang di balik kerusuhan demonstrasi 25 Agustus 2025 di Jakarta. Ia menilai aksi tersebut tidak murni gerakan rakyat, melainkan sudah dikendalikan oleh kekuatan politik tertentu.
“Ini tentunya bukan sebuah rahasia lagi, aksi massa kolosal dengan target-target mendekati situasi chaos. Tentunya memerlukan energi dan logistik yang tidak kecil,” ujar Sri Radjasa dalam podcast Forum Keadilan TV.
Menurutnya, pola pengendalian massa terlihat jelas. “Pola yang kita lihat dalam aksi massa, dua pihak dikendalikan. Pelaku dan pengaman di bawah satu kendali. Berada dalam satu genggaman. Ini memerlukan energi dan logistik yang besar. Ini three in one, ada pendana, pelaku dan pengaman,” katanya.
Riza Chalid dan Geng Solo
Ia menyebut nama Riza Chalid, buronan kasus korupsi minyak Pertamina, sebagai penyandang dana di balik aksi demo yang menyebabkan kerusuhan di Jakarta tersebut.
“Saya mendapat informasi yang sangat dipercaya, ini tidak lepas dari sakit hatinya para koruptor khususnya kasus Pertamina yang hari ini masih DPO. Ini menginginkan situasi di negeri ini chaos,” ucapnya.
Dia mengatakan, meski Riza penyandang dana, namun pengendalinya adalah Geng Solo.
“Riza Chalid punya dendam politik terhadap Prabowo. Sekarang ini peluang Riza Chalid membalas sakit hatinya setelah ditetapkan sebagai tersangka (korupsi minyak Pertamina). Riza Chalid boleh dikatakan sebagai penyandang dana. Tapi pengendali di sini saya bisa meyakinkan anda adalah Geng Solo. Karena ini terjadi begal demo,” lanjutnya.
Sri Radjasa menjelaskan bahwa narasi awal demo yang menyerukan penangkapan Jokowi dan pemakzulan Gibran, belakangan bergeser menjadi tuntutan pembubaran DPR. Tuntutan demo itu telah dibegal dan melalui pabrikasi untuk menghindari tuntutan massa yang meminta adili Jokowi dan lengserkan Gibran.
“Awalnya ajakan untuk demo cukup viral dengan waktu yang sama 25 Agustus. Cuma narasi yang digunakan adalah satu, tangkap Jokowi dan makzulkan Gibran dengan menggunakan mekanisme DPR. Tapi dalam perjalanan ini bergeser, isu DPR justru diangkat ke permukaan bahwa DPR hedonis, menerima tunjangan berlebihan. Sehingga terjadi amarah rakyat bahwa DPR harus dibubarkan,” jelas mantan agen BIN ini.
“Ini sesungguhnya demo yang bukan original demo, jadi sudah dibajak. Narasi (tuntutan) adalah sebuah pesanan dari kekuatan politik tertentu yang merasa terusik,” tambahnya.
Ia juga menilai aparat kepolisian memberi ruang sehingga kerusuhan terjadi. Ada kesan pembiaran terjadi aksi perusakan dan pembakaran. Meskipun kenyataannya polisi bisa saja mencegah terjadinya hal tersebut.
“Polisi memberi ruang agar situasi ini menjadi chaos, karena ada pengendali. Karena polisi dikendalikan oleh suatu kekuatan makanya standar ganda, di satu sisi represif tapi di sisi lain membiarkan agar situasi ini chaos,” ungkapnya.
Soal keterlibatan sejumlah kelompok, ia menyebut beberapa nama. “Kenapa Geng Solo terlibat, kita lihat saat demo dibegal siapa bermain? Di sana ada Youtuber Nusantara, ada Cokro TV, Laskar Cinta Jokowi, bahkan sebelum kejadian ini mereka sudah propagandakan untuk demo,” ujarnya.
Ia menambahkan, Geng Solo menagih Riza Chalid untuk membantu pendanaan sebagai bentuk balas jasa selama pemerintahan Jokowi kasus korupsi selalu dibiarkan.
“Zaman Jokowi korupsi sudah seperti pesugihan, suatu saat ditagih untuk kepentingan Jokowi.”
Selain itu, Sri Radjasa mengonfirmasi adanya penangkapan anggota Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS) oleh Brimob.
“Ada penangkapan anggota Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS) oleh Brimob, itu benar dan kecelakaan tugas yang seharusnya tidak boleh terjadi,” katanya.
“Dia seharusnya bisa menggunakan jaringan tidak langsung terjun ke lapangan, sehingga menimbulkan aksi ini blunder. Saya yakin dia dalam rangka mencari informasi, hanya sekadar mencari informasi. Biasa pasti dia membawa atribut inteligen,” lanjutnya.
Sri Radjasa juga menyoroti posisi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang kini berada di ujung tekanan publik.
“Saya menyayangkan, kalaupun ada rencana Prabowo waktunya sekarang. 200 lebih lembaga resmi yang meminta Prabowo mencopot Kapolri,” ujarnya.
“Saya lihat kalaupun misalnya Kapolri diganti, waktunya ini saatnya tidak lagi pertimbangan politik balas budi kepada majikannya Sigit (Kapolri). Kalau Prabowo masih mengambil waktu lagi, Prabowo bunuh diri. Karena ini berkejaran dengan waktu,” tambahnya.
Terakhir, ia menyoroti keterlibatan tentara dalam pengamanan aksi demo. “Tidak lazim polisi membuka ruang untuk tentara terlibat penanganan demo, karena bagi polisi ini adalah bentuk superior polisi yang tidak boleh diganggu gugat. Tapi kemarin porsi itu dibuka oleh tentara,” kata Sri Radjasa.
Lebih lanjut, mantan agen BIN ini berharap Presiden Prabowo untuk mendengar suara hati rakyat.