KORANNTB.com – Isu Izin Pertambang Rakyat (IPR) di NTB belakangan hari mulai santer terdengar. Setelah diresmikannya Koperasi Selonong Bukit Lestari dari Sumbawa untuk mengeola IPR oleh Gubernur dan Kapolda NTB, kini permintaan IPR mulai muncul.

Namun sikap Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal dinilai maju-mundur soal IPR ini. Ada sedikitnya dua alasan paling mendasar membuat Iqbal melangkah ragu-ragu soal IPR ini.

Orang dekat Gubernur NTB menyebut dilema Iqbal soal IPR karena berkaitan dengan regulasi yang ada, di mana Pemprov memiliki beban keselamatan pekerja tambang jika terjadi insiden di lokasi IPR. Kemudian belum jelas regulasi penggunaan alat berat di lokasi IPR.

“Alasan Pak Gub maju mundur ini pertama karena soal keselamatan penambang menjadi tanggungjawab Pemprov yang memberi izin. Kemudian soal penggunaan alat berat,” kata orang dekat yang tidak ingin disebutkan namanya.

Dari regulasi yang ada memang tidak diatur spesifik tentang penggunaan alat berat di lokasi IPR, baik di UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maupun PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Meski demikian, dalam Kepmen SDM Nomor 174 tentang Pedoman Penyelenggaran Izin Pertambangan Rakyat, memuat klausul dalam hal IPR menggunakan alat berat maka perlu mempertimbangkan: jumlah dan kapasitas alat, luar area kerja, daya dukung tanah.

Ketatnya regulasi tentang IPR ini membuat banyak daerah ragu-ragu dalam memberikan izin alat berat. Misalnya di Provinsi Kalimantan Barat, Pemprov setempat mengeluarkan persyaratan di IPR di mana tegas klausulnya menyebutkan “Tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak” pada orang perorangan, kelompok masyarakat dan koperasi. Baca di sini.

Selain itu kesiapan tentang reklamasi pascatambang juga masih menjadi momok yang harus lebih matang lagi dipikirkan untuk menerbitkan IPR.

Meskipun syarat untuk menerbitkan IPR ada di tangan Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB karena ada delegasi kewenangan pusat ke daerah, namun Pemprov harus melakukan pertimbangan dengan segala aspek, sehingga tidak sesederhana mungkin IPR dapat diterbitkan.

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB menilai alih-alih memberikan kesejahteraan, skema pertambangan rakyat justru berpotensi mengalihkan beban kerusakan lingkungan dari perusahaan besar kepada masyarakat kecil.

“Jangan-jangan ini skema izin yang ada sekadar memindahkan beban kerusakan dari tambang skala industri kepada rakyat, alih-alih menghadirkan kesejahteraan sejati,” kata Ketua WALHI NTB, Amri Nuryadin.

Amri juga mengkritik pendekatan tambang rakyat yang hanya menyoroti aspek teknis eksplorasi, tanpa membahas ekosistem secara komprehensif. Ia meragukan klaim bahwa tambang rakyat bisa menjadi jalan keluar dari kemiskinan di NTB.

“Pertambangan dan pariwisata sudah lama mendominasi pendapatan daerah, tetapi NTB tetap berada dalam lingkar kemiskinan. Jangan-jangan ini kutukan sumber daya alam,” katanya.