Pelaku Kekerasan Seksual Dihukum Ringan, PN Mataram Dihadiahi “Tolak Angin”
KORANNTB.com – Vonis ringan terhadap dua pelaku kekerasan seksual oleh Pengadilan Negeri Mataram mendapat reaksi kritikan tajam dari sejumlah aktivis. Imbasnya, sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB menggelar aksi di Pengadilan Negeri Mataram pada Kamis, 18 September 2025.
Aktivis yang terdiri dari BEM Unram, LBH Apik NTB, LPA Kota Mataram dan PBHM NTB secara simbolis memberikan paket jamu tradisional Tolak Angin dan kartu kuning untuk mengeritisi putusan hakim yang dinilai ‘masuk angin’ dalam memberikan efek jera terhadap predator kekerasan seksual.
Paket protes tersebut diterima langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Mataram, Ary Wahyu Irawan.
Tidak Mudah bagi Korban Melapor
Aktivis LBH Apik NTB, Megawati Iskandar Putri mengatakan aksi tersebut sebagai simbol empati terhadap perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual. Putusan hakim berbanding terbalik dengan masa depan korban yang hancur akibat dari kejahatan seksual para terdakwa.
“Ini aksi simbolik bentuk kekecewaan kami melihat adanya putusan pengadilan yang kami rasa tidak memiliki empat dan kepedulian (terhadap korban). Kami rasa dengan putusan yang jauh dari tuntutan tidak memberikan rasa keadilan,” ujarnya.
Dia mengatakan ini menjadi preseden buruk terhadap kasus kekerasan seksual lainnya. Putusan tersebut menjadi pesan menakutkan terhadap perempuan bahwa ternyata pelaku bisa saja dihukum ringan jauh dari kejahatan yang dilakukan.
“Putusan sebagai pesan preseden yang buruk bagi kasus kekerasan seksual, karena kami sebagai perempuan melihat ini pesan bahwa kasus kekerasan seksual tidak ditanggapi serius,” katanya.
Dia menyesali putusan tersebut. Menurut Mega, sangat sulit bagi korban untuk berani melapor karena menanggung rasa malu bahkan hingga di masa depan. Namun saat para korban berani melapor, justru hukuman bagi terdakwa tidak setimpal dengan kejahatan terdakwa sendiri.
“Ketika korban sudah berani melaporkan kasus ini, namun kenyataannya hukum pada negara kita tidak berpihak pada perempuan,” ujarnya.

Wasekjen BEM Unram, Tara Karillah Davanti mengatakan putusan tersebut sama sekali tidak memiliki efek jera terdahap pelaku. Padahal di NTB sendiri sangat masif kasus serupa.
“Kami bisa mengatakan tidak ada efek jera terhadap putusan tersebut,” jelasnya.
Dia mengatakan seharusnya hakim memikirkan masa depan korban, termasuk rekam jejak kasus di mana seringkali korban diintimidasi dan mendapat tekanan yang cukup berat jika berani melapor. Seharusnya itu menjadi pertimbangan yang memberatkan vonis.
“Saya tekankan putusan sangat lucu, hampir setiap kasus kita bisa lihat faktor pendidik ada intimidasi pasca peristiwa sangat disayangkan,” katanya.
Ditambah lagi kata Tara, kasus pernikahan anak di NTB sering menempati urutan pertama dalam statistik nasional. Harusnya pengadilan dapat melihat ini sebagai alarm untuk menyelamatkan masa depan anak di NTB.
“Tahun 2021-2023 secara nasional berturut NTB menjadi provinsi dengan tingkat perkawinan anak tertinggi se-Indonesia. Ini berdampak ke berbagai aspek mulai dari kemiskinan, meningkatnya pekerja migran, kesejahteraan, angka mati muda dan stunting,” ujarnya.
Sebelumnya, terdakwa pelaku pelecehan seksual di sebuah pondok pesantren di Lombok Barat telah dijatuhi vonis hakim. Ust. Haji Marwan alias Abah Marwan, guru ponpes, didakwa pencabulan dan dituntut 8 tahun penjara, namun hakim hanya menjatuhkan vonis 6 tahun.
Sedangkan, Ust. Wahyu Mubarok alias Tuak Wahyu alias Gus Wahyu, seorang guru sekaligus anak dari Ust. S, didakwa melakukan persetubuhan dan dituntut 8 tahun penjara dan belum diputus. Begitu juga seorang tuan guru sekaligus pemimpin Ponpes juga belum diputus hakim.