KORANNTB.com – Pertumbuhan ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Kuartal II 2025 tercatat sebagai yang terendah kedua secara nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekonomi NTB mengalami kontraksi hingga minus 0,82 persen secara tahunan.

Capaian ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah, khususnya Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal, yang selama ini sering menampilkan optimisme berlebihan terkait pembangunan. Angka tersebut bukan sekadar statistik, tetapi potret rapuhnya fondasi ekonomi NTB yang terlalu bergantung pada sektor tambang.

Ketika produksi menurun atau aturan ekspor diperketat, perekonomian NTB langsung terpukul. Pola ini terus berulang karena pemerintah daerah dinilai enggan belajar. Alih-alih membangun ketahanan ekonomi jangka panjang, kebijakan yang diambil cenderung reaktif dan menunggu momentum harga komoditas.

Padahal, NTB memiliki potensi besar di sektor pariwisata, pertanian, perikanan, hingga UMKM. Sayangnya, sektor-sektor tersebut masih diperlakukan sebagai pelengkap, bukan prioritas utama. Tanpa roadmap diversifikasi ekonomi yang jelas, NTB kerap terjebak pada siklus lama: ketika tambang jatuh, ekonomi ikut terpuruk.

Direktur Lombok Global Institute (Logis) NTB, M. Fihiruddin, mengaku miris dengan kondisi tersebut. Ia menilai Gubernur Iqbal tidak menunjukkan langkah konkret untuk mengatasinya, bahkan komunikasi kepada publik pun lemah.

“Di tengah kontraksi ini, publik justru minim mendapatkan penjelasan tegas dan langkah konkret dari Gubernur NTB. Tidak ada komunikasi yang jelas mengenai strategi pembenahan struktural, baik dalam jangka pendek maupun panjang,” kata M. Fihiruddin di Mataram, Rabu 24 September 2025.

Menurutnya, transparansi dan kepemimpinan yang visioner sangat dibutuhkan untuk meredam kegelisahan masyarakat sekaligus mengembalikan kepercayaan investor.

Ia menegaskan, kondisi ini seharusnya menjadi titik balik. Gubernur NTB diminta berhenti terjebak pada pencitraan dan retorika pembangunan, serta fokus pada tindakan nyata.

“Jika berada di atas Papua Tengah, itu artinya jatuh sekali karena Papua Tengah itu provinsi baru berdiri, belum punya apa-apa sebagai pengendali ekonomi karena infrastruktur ekonominya ada di Papua Barat sebagai provinsi induk. Sangat miris kalau NTB hanya berada di atas Papua Tengah,” ujarnya.

Fihiruddin khawatir, jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya akan meluas ke kehidupan masyarakat. Ia meminta gubernur tidak menutup mata terhadap potret suram ekonomi daerah.

“Sudah saatnya Gubernur NTB turun dari menara gading dan berhenti bermain dengan retorika pembangunan yang manis di atas kertas. Rakyat butuh tindakan nyata, bukan sekadar klaim prestasi,” tegasnya.

Ia mendesak agar langkah konkret segera dirumuskan, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.

“Masyarakat tak butuh narasi omon-omon, masyarakat butuh bukti bukan cuap-cuap belaka yang tak punya arti,” ujarnya.

Daftar Pertumbuhan Ekonomi 38 Provinsi Indonesia Kuartal II 2025 (data BPS/GoodStats):

  • Maluku Utara = 32,09%
  • Sulawesi Tengah = 7,95%
  • Kepulauan Riau = 7,14%
  • Bali = 5,95%
  • Sulawesi Tenggara = 5,89%
  • Sulawesi Utara = 5,64%
  • Kalimantan Barat = 5,59%
  • DI Yogyakarta = 5,49%
  • Nusa Tenggara Timur = 5,44%
  • Sumatra Selatan = 5,42%
  • Kalimantan Selatan = 5,39%
  • Banten = 5,33%
  • Jawa Tengah = 5,28%
  • Jawa Barat = 5,23%
  • Jawa Timur = 5,23%
  • DKI Jakarta = 5,18%
  • Gorontalo = 5,16%
  • Lampung = 5,09%
  • Jambi = 4,99%
  • Bengkulu = 4,99%
  • Kalimantan Tengah = 4,99%
  • Sulawesi Selatan = 4,94%
  • Aceh = 4,92%
  • Sumatra Utara = 4,62%
  • Kalimantan Timur = 4,69%
  • Riau = 4,59%
  • Kalimantan Utara = 4,54%
  • Sulawesi Barat = 4,29%
  • Kep. Bangka Belitung = 4,09%
  • Papua Selatan = 3,99%
  • Sumatra Barat = 3,95%
  • Papua = 3,55%
  • Maluku = 3,39%
  • Papua Barat Daya = 3,19%
  • Papua Pegunungan = 3,19%
  • Papua Barat = –0,23%
  • Nusa Tenggara Barat = –0,82%
  • Papua Tengah = –9,83%