KORANNTB.com — Perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB) pada triwulan II 2025 mengalami kontraksi -0,82 persen. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan NTB di peringkat 37 dari 38 provinsi. Di sisi lain, Maluku Utara mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi sebesar 32,09 persen, disusul Sulawesi Tengah 7,95 persen.

Kondisi ini mendapat sorotan dari Bendahara Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) NTB, Herianto. Menurutnya, kontraksi ekonomi NTB bukan semata dipicu faktor eksternal, tetapi juga struktur ritel yang semakin timpang di level hilir.

“Pemprov NTB harus segera menerapkan rem kebijakan pada ekspansi ritel modern berjaringan. Tanpa pembenahan, warung rakyat, kios pasar, dan pelaku UMKM akan terus terpinggirkan. Kontraksi -0,82% adalah alarm kebijakan,” kata Herianto, Selasa.

Persaingan Ritel Modern dan Dampak ke UMKM

Herianto menilai keberadaan ritel modern yang semakin masif, bahkan masuk ke permukiman dan dekat pasar tradisional, telah “menggerus omzet pelaku mikro melalui persaingan harga, jam buka panjang, dan kekuatan pasokan.”

Ia menambahkan, sebagian besar produk yang dijual minimarket bukan berasal dari produksi lokal. Hal ini membuat belanja rumah tangga tidak banyak berputar di desa atau kelurahan.

“Leakage ekonomi membuat uang belanja warga tak banyak berputar di desa/kelurahan. Dampaknya berantai: penyerapan tenaga kerja lokal rendah, margin UMKM menyusut, hingga daya beli wilayah melemah ini ikut menekan pertumbuhan,” ujarnya.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk menjawab persoalan tersebut, Herianto menawarkan konsep “Rem Ekspansi – Gas UMKM” yang dapat dijalankan melalui regulasi di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Rekomendasi itu meliputi:

  1. Moratorium izin baru di zona jenuh, terutama sekitar pasar tradisional, sekolah, dan sentra UMKM.
  2. Zonasi dan jarak minimum antargerai modern retail, termasuk larangan berdiri dalam radius tertentu dari pasar rakyat.
  3. Kewajiban kemitraan dan etalase lokal, yakni minimarket wajib menampung produk UMKM NTB dengan kuota etalase dan sistem pembayaran yang adil.
  4. Pengaturan jam operasional agar pasar tradisional tetap memiliki keunggulan, khususnya untuk kebutuhan segar di pagi hari.
  5. Insentif bagi UMKM, berupa pembiayaan murah, program digitalisasi pasar, dan prioritas belanja pemerintah untuk produk lokal.
  6. Pembentukan satgas pengawasan izin lintas dinas guna mengaudit kepatuhan zonasi, tingkat pasokan lokal, dan kemitraan.
  7. Studi dampak sosial-ekonomi sebagai syarat izin baru, termasuk proyeksi serapan tenaga kerja lokal dan omzet UMKM yang berpotensi terdampak.

Mendesak untuk Pemulihan

Herianto menekankan bahwa langkah-langkah ini terkait langsung dengan kontraksi ekonomi daerah.
“Q2-2025 minus 0,82% menunjukkan permintaan domestik di NTB tak cukup kuat menopang pertumbuhan. Ketika hilir perdagangan tidak inklusif, multiplier effect mengecil. Menjaga keseimbangan pasar modern tradisional adalah prasyarat pemulihan,” tegasnya.

Ia juga mendorong adanya rapat kerja terbuka antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, asosiasi ritel, dan pedagang. Dalam waktu 90 hari, rapat tersebut diharapkan bisa menghasilkan peta zona jenuh, draf regulasi zonasi, hingga uji coba etalase UMKM di 100 gerai pertama.

Indikator Keberhasilan

Agar tidak berhenti sebatas wacana, Herianto mengusulkan indikator kinerja utama yang dipantau per kuartal, antara lain:

  • Porsi produk UMKM NTB yang masuk jaringan minimarket.
  • Jumlah gerai baru di zona non-jenuh dibanding izin yang ditolak di zona jenuh.
  • Perubahan omzet pasar tradisional dan warung.
  • Persentase tenaga kerja lokal yang terserap di gerai minimarket.
  • Pertumbuhan sektor perdagangan serta konsumsi rumah tangga.

“Kalau lima indikator itu bergerak, angka pertumbuhan akan ikut pulih. Tujuannya bukan anti-investasi, melainkan menata ekosistem supaya adil investor tumbuh, rakyat kecil hidup,” pungkasnya.