Kemarau Basah, Masyarakat Adat di Lombok Kesulitan Petakan Musim Tanam
KORANNTB.com – Masyarakat adat di Lombok, Nusa Tenggara Barat memiliki tantangan saat menghadapi perubahan iklim saat ini. Masyarakat adat yang dulunya mengandalkan penanggalan Sasak atau Kalender Rowot Sasak untuk memulai musim tanam, kini mulai kesulitan memetakan waktu menanam.
Kondisi cuaca makin tak menentu dan berubah-ubah. Kadang hujan dengan intensitas tinggi turun di musim kemarau, kadang juga musim kemarau begitu ekstrem sehingga menyulitkan akses masyarakat untuk air bersih. Bahkan saat kemarau ekstrem, petani tembakau harus menggunakan es batu untuk menanam.

Lukman (37) yang merupakan Anggota Komunitas Masyarakat Adat Segala Anyar, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah mengakui bahwa terjadi perubahan musim tanam karena dinamika cuaca yang kian tak menentu tahun-tahun ini.
“Berubah (waktu berladang) karena cuaca tak menentu,” katanya belum lama ini.
Dia mengatakan, biasanya warga mulai berladang pada bulan November yang menjadi waktu awal musim hujan. Namun kondisi sekarang cukup berbeda, karena bisa saja musim hujan datang lebih awal atau lebih lambat.
Misalnya pada September saat ini, seharusnya masuk pada puncak musim kemarau namun di Lombok turun hujan dengan intensitas tinggi tak kenal waktu.
“Biasanya di bulan November,” ujarnya.
Sementara, Inaq Dagul (70) dari Komunitas Adat Mertepati Desa Sengkol, Pujut, mengatakan warga biasanya menggunakan kalender Sasak dalam menentukan musim tanam.
Dalam kalender Sasak, idealnya musim tanam jatuh pada bulan ketujuh.
“Biasanya masuk bulan tujuh kalender Sasak,” ujarnya.
Kalender Sasak berbeda dengan kalender masehi. Kalender tersebut mengikuti kalender Islam dan akan maju setiap tahunnya. Kalender Sasak sejak turun temurun sangat ideal untuk menentukan waktu tanam. Namun di tengah perubahan iklim saat ini, penanggalan tradisional tersebut nyaris tak menentu untuk menentukan waktu ideal musim tanam tiba.
Tetua Adat Komunitas Adat Mertepati, H. M Yakum (90) menjelaskan untuk menentukan waktu dalam perhitungan penanggalan tradisional mengacu pada rasi bintang. Pengamatan langsung terhadap rasi bintang di langit menjadi acuan menentukan waktu.
“Kita melihat alam di atas ada matahari, bulan dan bintang. Bintang ini memiliki lima tokoh (rasi ideal),” ujarnya.
Penentuan waktu menggunakan metode rasi bintang tersebut dikenal sebagai almanak astronomi tradisional Sasak.
Hasil Panen Menurun
Kondisi perubahan iklim ini juga turut berkontribusi terhadap hasil panen masyarakat. Jika membandingkan 20-30 tahun yang lalu dengan masa saat ini, jauh berbeda sekali hasil panen saat ini. Masyarakat mengakui saat ini hasil panen berkurang drastis.
Kepala Kampung Komunitas Adat di Sengkol, Masri Hidayat (63) mengatakan hasil panen berkurang bahkan tidak ada. Banyak petani mengalami kegagalan panen akibat musim yang berubah atau memang karena petani enggan menanam karena khawatir merugi di tengah cuaca yang tidak menentu.
“Berkurang (hasil panen), bahkan tidak ada,” kata dia.
Hal sama diungkapkan Kuncara Ningrat (40), anggota adat Mertepati Pujut. Dia mengaku jauh lebih baik hasil panen puluhan tahun lalu dibanding saat ini.
“Sangat jauh berkurang,” ujarnya.
Dia juga mengakui banyak satwa yang 20-30 tahun lalu banyak ditemukan, kini mulai berkurang. Bahkan jenis-jenis serangga pun sudah mulai berkurang pada saat ini. Kini dia jarang melihat kepompong dan kupu-kupu, yang dilihat hanya hama yang menyerang tanaman.
Kuncara juga menjelaskan, untuk menentukan musim tanam atau mengikuti cuaca saat ini, sebagian masyarakat mulai terbiasa mengikuti informasi BMKG. Itu sangat membantu petani mengetahui potensi cuaca belakangan ini.
“Sebagian mengikuti kalender tradisional dan sebagian lagi mengikuti BMKG,” katanya.
Kemarau Basah
Fenomena hujan di musim kemarau oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) disebut kemarau basah.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa meski ada potensi hujan, kita tidak bisa mengabaikan ancaman kekeringan di beberapa wilayah. Masyarakat harus tetap waspada dan memanfaatkan hujan untuk menambah cadangan air,” kata Afriyas Ulfah, forecaster BMKG Stasiun Klimatologi NTB.
Penyebab kemarau basah adalah dinamika atmosfer regional dan global, seperti suhu muka laut yang hangat, angin monsun aktif, serta La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif. Itu menjadi penyumbang hujan tetap turun meski berada di musim kemarau.
BMKG juga telah jauh hari merilis musim kemarau pada 2025 di Indonesia cukup sangat pendek akibat beberapa fenomena tersebut.
Kemarau basah tidak hanya berdampak positif dengan meningkatnya volume cadangan air pertanian, namun juga justru membuat petani merugi, karena kondisi tanah yang lembap menyebabkan gagal panen di komuditas jagung, kedelai, kacang-kacangan dan bahkan tembakau.
Sisi lain, kemarau basah menyebabkan peningkatan jumlah hama yang menjadi musuh petani.
“Hal ini mencerminkan dampak nyata dari perubahan iklim global, yang menantang pola lama dalam mengelola musim. Untuk mengurangi risikonya, diperlukan pemantauan rutin atmosfer dan suhu laut, serta penyampaian informasi iklim yang akurat dan mudah diakses masyarakat,” tulis BMKG melalui siaran persnya di bmkg.go.id.
Pemprov Ingatkan Petani
Memang sejak awal Pemprov NTB telah mengingatkan petani untuk bersiap menghadapi fenomena kemarau basah.
“Kita sudah ingatkan dan BMKG juga sudah informasikan kalau saat ini masuk kemarau basah. Itu artinya menanam tanaman yang butuh irigasi terukur dan teratur, sehingga kita tidak menganjurkan menanam tembakau,” ujar Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, Taufiek Hidayat.
Anomali cuaca saat ini kata dia, membutuhkan kejelian dan fokus untuk memantau kondisi cuaca. Sehingga kondisi kemarau basah, Pemprov menganjurkan petani menanam padi sebagai alternatif mengganti tembakau.
“Tembakau bisa ditunda, kan butuh waktu enam bulan,” jelasnya.

Dia menjelaskan, luas tanaman tembakau di NTB saat ini mencapai 39 ribu hektare, namun 90 persen digunakan di Lahan Baku Sawah (LBS) padi. Padahal penetapan LBS dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN sebagai lahan menanam padi untuk menjaga ketersediaan pangan nasional.
Selain tidak menganjurkan menanam tembakau, dia juga tidak menganjurkan menanam bawang karena usianya cukup pendek hanya tiga bulan. Masyarakat dianjurkan menanam padi di saat kemarau basah ini.