KORANNTB.comPemerintah Provinsi NTB telah melakukan moratorium Pemungutan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP) melalui Surat Edaran Gubernur Nomor: 100.3.4/7795/Dikbud/2025. Namun, meskipun sekolah dilarang melakukan pungutan, masih banyak sekolah yang diam-diam melakukan pungutan.

Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman NTB, Arya Wiguna, mengatakan saat ini Ombudsman NTB menerima setidaknya 30-an laporan penggalangan sumbangan di tingkat SMA/SMK, meskipun telah ada kebijakan moratorium BPP.

“Kami menangani sekitar 30-an laporan terkait dengan penggalangan sumbangan di tingkat SMA/SMK. Bahkan tadi kami turun di salah satu SMK di Mataram,” katanya, Kamis malam, 23 Oktober 2025.

Beberapa sekolah diduga masih membebankan siswa untuk membayar dengan nominal yang ditetapkan pihak sekolah. Padahal, seharusnya bersifat sukarela melalui komite.

“Dari semua kabupaten/kota di NTB, ada satu sekolah di Kabupaten Bima kami langsung turun minta keterangan ke komite dan kepala sekolah. Modusnya penggalangan sumbangan,” ujar Arya.

Meskipun modus sumbangan, namun faktanya justru mengarah ke pungutan, di mana jumlah dan waktu pembayaran ditentukan.

“Bahkan kami temukan juga (modusnya) dikaitkan dengan (ujian) midsemester. Termasuk dibebankan kepada siswa tidak mampu. Kami minta untuk dihentikan termasuk dikembalikan,” ungkapnya.

Jejak Pungutan Pendidikan

Sebagai informasi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2008 menyebut salah satu sumber pendanaan bersumber dari partisipasi masyarakat.

Regulasi tersebut menjadi angin segar bagi pihak sekolah untuk menarik dana peserta didik melalui pungutan BPP.

Ini berbeda dengan tingkat SD dan SMP yang secara tegas melarang adanya pungutan dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar.

“Sedangkan untuk tingkat menengah SMA/SMK belum ada larangan secara tegas. Akan tetapi ukurannya selama dana BOS cukup men-cover (menutupi) pembiayaan pendidikan tentu sekolah tidak boleh menarik pungutan,” kata Arya.

“Pungutan dan/atau sumbangan hanya untuk menutupi kekurangan atau tidak ditanggung oleh dana BOS, sehingga tahun 2018 terbit Pergub Nomor 44 tahun 2018 tentang  Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (pungutan) merupakan ranah sekolah,” jelasnya.

Namun, mulai 1 Juli 2025 pungutan BPP dilarang berdasarkan SE Kadis Dikbud NTB. Kemudian pembiayaan pendidikan dialihkan melalui mekanisme sumbangan berdasarkan Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 termasuk SE Gubernur mengatur hal yang sama.

“Penggalangan sumbangan ini ranahnya komite sekolah sifatnya sukarela, tidak ditentukan jenis dan jumlahnya tidak dipaksakan,” ujarnya.

Dalam proses penggalangan sumbangan pendidikan tersebut, disyaratkan menyusun proposal termasuk RAPBS sehingga diketahui riil kekurangan pembiayaan dari dana BOS.

“Akan tetapi praktiknya justru jumlah dan jangka waktunya ditetapkan (diwajibkan),” katanya.