Iwan Slenk: Pergub Soal BTT Sah Sebelum Ada Pembatalan
MATARAM – Polemik pergeseran dana Belanja Tak Terduga (BTT) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 dan 6 Tahun 2025 masih terus menjadi sorotan publik. Advokat senior NTB, M. Ikhwan, SH., MH., yang akrab disapa Iwan Slenk, memaparkan pandangannya terkait dasar hukum pergeseran anggaran tersebut.
Iwan menegaskan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan atas dasar Pergub 02 dan 06 Tahun 2025 tetap sah selama peraturan tersebut belum dibatalkan secara resmi melalui mekanisme hukum.
“Selama belum ada pembatalan produk peraturan tersebut melalui uji materil (putusan pengadilan), maka produk peraturan yang dimaksud oleh hukum tetap dianggap sah dan berlaku,” ujar Iwan Slenk.
Menurutnya, gubernur memiliki kewenangan menetapkan Peraturan Kepala Daerah atau Pergub sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (jo. Permendagri Nomor 120 Tahun 2018).
“Dalam pergeseran dana BTT, sebagaimana diketahui, gubernur NTB telah menerbitkan Pergub Nomor 2 dan Pergub Nomor 6 Tahun 2025. Pertanyaan mendasarnya, apakah gubernur berwenang? Jawabannya adalah iya (berwenang),” jelas Iwan.
Ia menambahkan, peraturan kepala daerah yang terbukti bertentangan dengan peraturan lebih tinggi tidak otomatis berimplikasi pidana. Konsekuensinya berupa pembatalan peraturan melalui mekanisme uji materiil di Mahkamah Agung.
“Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa peraturan kepala daerah bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka konsekuensi yuridisnya adalah pembatalan peraturan tersebut. Tidak serta merta dikenakan sanksi pidana,” bebernya.
Namun, apabila pembatalan dilakukan melalui putusan peradilan yang berwenang, gubernur dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan PP Nomor 12 Tahun 2017. Bentuknya bisa berupa teguran tertulis, pembatalan kebijakan daerah, hingga pemberhentian sementara atau tetap.
“Menetapkan Pergub yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat menjadi dasar pemberian sanksi administratif,” ujarnya.
Iwan juga menilai, penerbitan Pergub yang berpotensi bertentangan dengan aturan lebih tinggi tidak serta merta berujung pada pidana, kecuali ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara.
“Masalah proses penerbitan peraturan itu menyangkut administrasi. Jika ada kesalahan, maka itu kesalahan administratif. Sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan bila terdapat bukti kuat adanya tindak pidana lain seperti penyalahgunaan wewenang atau itikad buruk,” terang Iwan.
Menurutnya, Pergub 02 dan 06 Tahun 2025 tentang pergeseran BTT perlu diuji secara hukum terlebih dahulu untuk menilai apakah benar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Selama belum ada pembatalan resmi, maka tindakan hukum yang berlandaskan Pergub tersebut tetap sah,” pungkas Iwan Slenk.
